Layakkah Program Food Estate Dilanjutkan untuk Ketahanan Pangan?

  • Bagikan
Layakkah Program Food Estate Dilanjutkan untuk Ketahanan Pangan?
Layakkah Program Food Estate Dilanjutkan untuk Ketahanan Pangan?

MoneyTalk, Jakarta – Pertanyaan mengenai kelayakan program Food Estate dilanjutkan atau tidak selalu menjadi isu yang hangat dalam perdebatan kebijakan ketahanan pangan Indonesia. Terlebih, dalam konteks proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS) yang memprediksi bahwa populasi Indonesia akan mencapai 328 juta jiwa pada 2050, kebutuhan pangan akan meningkat secara signifikan.

Pernyataan yang disampaikan oleh Sofyan Djalil dalam podcast Katadata pada Selasa (21/10) menggarisbawahi tantangan utama yang dihadapi Indonesia terkait ketahanan pangan: ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan domestik secara mandiri.

Menurut Badan Pangan Nasional (Bapanas), tantangan swasembada pangan tidak hanya terletak pada produksi, tetapi juga pada keterjangkauan dan pemanfaatan pangan di tengah ketidakpastian global, seperti perubahan iklim dan disrupsi rantai pasok. Namun, pertanyaannya, apakah program Food Estate, yang telah menjadi sorotan kontroversial, masih layak dilanjutkan untuk mengatasi masalah ini?

Program Food Estate adalah inisiatif pemerintah untuk menciptakan lahan pertanian besar yang dikelola secara intensif dengan tujuan meningkatkan produksi pangan nasional. Dalam program ini, kawasan tertentu ditetapkan sebagai lahan pertanian terpadu yang dapat digunakan untuk berbagai komoditas, seperti padi, jagung, hingga singkong.

Konsep ini sebenarnya cukup menarik karena menawarkan solusi yang komprehensif untuk meningkatkan ketahanan pangan, terutama di daerah-daerah yang belum optimal digunakan untuk pertanian. Namun, masalahnya tidak terletak pada konsep tersebut, melainkan pada implementasinya.

Sofyan Djalil, yang terlibat dalam birokrasi selama berbagai pemerintahan, mengakui bahwa secara konseptual, Food Estate adalah ide yang sangat baik. Ia menawarkan potensi untuk menjadikan Indonesia lumbung pangan dunia. Namun, antara idealisme dan realita di lapangan terdapat kesenjangan besar yang harus dijembatani. Masalah kebijakan, baik di level makro maupun mikro, serta implementasi di lapangan seringkali tidak sejalan, menyebabkan program ini tidak mencapai hasil yang diharapkan.

Salah satu kelemahan utama yang dihadapi Food Estate adalah pemilihan lokasi yang tidak tepat. Banyak lahan yang dijadikan bagian dari program ini ternyata memiliki kualitas tanah yang buruk atau memerlukan intervensi teknologi dan pupuk yang sangat besar.

Sofyan Djalil memberikan contoh daerah yang ditanami pohon pakis, yang merupakan indikasi bahwa tanah tersebut sangat miskin unsur hara. Di lahan seperti ini, diperlukan intervensi besar-besaran dalam bentuk pupuk organik untuk dapat meningkatkan produktivitas.

Selain itu, masalah sumber daya manusia juga menjadi tantangan. Generasi muda di Indonesia cenderung tidak tertarik untuk bekerja di sektor pertanian, khususnya dengan metode konvensional. Ini menimbulkan masalah serius, karena teknologi dan inovasi pertanian modern belum sepenuhnya diterapkan di banyak wilayah. Tanpa penerapan teknologi yang tepat dan kebijakan yang kondusif, maka Food Estate tidak akan berjalan sesuai harapan.

Untuk menjawab pertanyaan utama, layakkah program ini dilanjutkan? Jawabannya bergantung pada bagaimana pemerintah mengatasi masalah-masalah yang ada. Menurut Sofyan Djalil, salah satu prinsip dasar yang perlu diterapkan adalah pentingnya evaluasi dan perbaikan kebijakan. Pemerintah perlu belajar dari pengalaman dan memperbaiki kelemahan implementasi, terutama di tingkat mikro.

Kebijakan makro, seperti tata ruang yang saat ini diklaim sebesar 120 juta hektar sebagai kawasan hutan, perlu ditinjau kembali. Dari kawasan hutan yang ada, sekitar 31,8 juta hektar sudah tidak memiliki tutupan hutan dan seharusnya dapat dialihkan untuk pertanian. Dengan demikian, ketersediaan lahan akan lebih optimal, dan ini dapat menjadi salah satu solusi jangka panjang untuk meningkatkan ketahanan pangan.

Di sisi lain, pendekatan kemitraan antara pemerintah dan sektor swasta sangat diperlukan. Pemerintah tidak bisa bekerja sendirian dalam hal ini. Public-private partnership yang tepat dapat memberikan dukungan finansial dan teknologi yang diperlukan untuk membuat Food Estate berhasil. Pemerintah perlu memberikan insentif bagi para pelaku usaha yang ingin terlibat secara serius dalam mengembangkan sektor pertanian.

Food Estate masih layak untuk dilanjutkan, tetapi hanya jika dilakukan dengan perencanaan yang lebih matang dan implementasi yang lebih baik. Program ini memiliki potensi besar untuk membantu Indonesia mencapai swasembada pangan, namun tanpa kebijakan yang tepat, program ini hanya akan menjadi jargon politik yang tidak pernah terealisasi dengan baik.

Seperti yang dikatakan oleh Sofyan Djalil, Indonesia memiliki potensi untuk menjadi lumbung pangan dunia. Namun, potensi ini hanya bisa terwujud jika pemerintah mampu mengatasi kesenjangan antara idealisme dan realita di lapangan. Program Food Estate bisa menjadi solusi, asalkan ada perbaikan dalam hal pemilihan lahan, penggunaan teknologi, dan keterlibatan sektor swasta.(c@kra)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *