MoneyTalk, Jakarta – Dalam sebuah video di kanal YouTube Ahmad Khosinudin, Jumat, 24 Oktober, Babe Haekal Hasan, Ketua Badan Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang baru dilantik, membuat pernyataan kontroversial yang menuai respons keras.
Babe Haekal menegaskan bahwa semua produk harus didaftarkan untuk memperoleh sertifikasi halal. Jika tidak, akan dikenakan sanksi tegas, mulai dari sanksi administratif hingga penarikan produk dari peredaran.
Pernyataan ni menuai sorotan tajam, terlebih mengingat Babe Haekal sebelumnya pernah mengkritik keras aturan sertifikasi halal oleh Kementerian Agama dan mengklaim bahwa masyarakat harus bebas memilih.
Dari Liberalisme ke Regulasi Ketat
Pada awal kemunculannya, Babe Haekal dikenal sebagai figur yang mendorong kebebasan dalam sertifikasi halal. Ia mengkritik langkah pemerintah yang dianggapnya mengekang kebebasan individu dalam memilih produk tanpa harus terikat aturan ketat. Namun, pernyataannya baru-baru ini seolah menandakan perubahan arah. Saat ini, ia mengharuskan setiap produk terdaftar dalam BPJPH dengan ancaman sanksi bagi yang tidak patuh.
Ini memunculkan pertanyaan besar: apakah pengangkatan Babe Haekal di BPJPH menunjukkan bahwa pemerintahan Prabowo sedang menuju pendekatan yang lebih keras dan represif? Ahmad Khosinudin dalam videonya menyoroti, perubahan sikap ini adalah sinyal bahwa pemerintah berpotensi memberlakukan kebijakan yang tidak fleksibel, yang justru dapat membebani masyarakat, terutama para pengusaha kecil.
Efek Kebijakan BPJPH terhadap UMKM
Ketentuan sertifikasi halal sering kali menjadi beban tambahan bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), terutama yang memiliki keterbatasan modal dan akses terhadap prosedur sertifikasi yang kompleks. Khosinudin menekankan, alih-alih mendorong perkembangan UMKM, kebijakan yang represif ini bisa membuat banyak usaha kecil gulung tikar.
Babe Haekal juga menyebutkan bahwa penarikan produk dari pasar bisa dilakukan jika produk tidak memenuhi syarat sertifikasi halal. Jika langkah ini diterapkan tanpa mempertimbangkan kondisi pelaku UMKM, masyarakat yang menggantungkan hidup pada usaha kecil-kecilan mungkin akan mengalami tekanan besar. Keputusan ini berpotensi mengancam keberlanjutan bisnis mereka di tengah daya beli masyarakat yang sudah menurun.
Dulu Menentang, Kini Mendukung, Pola Pikir yang Kontroversial
Pada masa kampanyenya, Babe Haekal secara terang-terangan menolak aturan sertifikasi halal yang dipaksakan pemerintah, terutama logo halal oleh Kementerian Agama yang disebutnya sebagai pengekangan kebebasan memilih masyarakat. Kini, ketika berada di kursi pimpinan BPJPH, pernyataannya justru berbeda 180 derajat.
Ahmad Khosinudin dalam videonya menyoroti bahwa sikap Babe Haekal ini mengindikasikan perubahan arah kebijakan yang cukup mengagetkan. Publik, yang sebelumnya melihat Haekal sebagai sosok yang memperjuangkan kebebasan memilih, kini harus menyaksikan perubahan ini dengan kekecewaan. Khosinudin bahkan menyebut hal ini sebagai contoh awal dari pemerintahan yang mulai memperlihatkan karakter represif di era Prabowo.
Efek Domino Kebijakan yang Tidak Fleksibel
Ancaman Babe Haekal untuk menarik produk dari pasar jika tidak memenuhi syarat sertifikasi halal bukanlah masalah sepele. Kebijakan ini mencerminkan ancaman nyata bagi pelaku usaha, terutama mereka yang kesulitan mengikuti prosedur birokrasi. Ahmad Khosinudin menyatakan bahwa kebijakan ini justru akan membuat rakyat semakin tertekan, dengan kemungkinan bahwa akan ada kebijakan-kebijakan lain yang memperketat ruang gerak usaha kecil dan masyarakat umum.
Menurut Khosinudin, tindakan ini juga bisa menciptakan efek domino, yang pada akhirnya bisa melemahkan daya saing produk lokal. Ketidakfleksibelan dalam kebijakan ini bisa membuat para pengusaha kecil beralih ke pasar gelap atau memilih untuk tidak beroperasi sama sekali.
Awal Rezim Prabowo yang Semakin Ketat
Dalam konteks yang lebih luas, pernyataan dan kebijakan Babe Haekal bisa dipandang sebagai indikasi dari pendekatan pemerintahan Prabowo-Gibran yang mulai menampakkan karakter otoritarianisme. Banyak yang memprediksi bahwa pemerintahan ini akan memberlakukan berbagai kebijakan yang semakin ketat, yang berpotensi memberatkan masyarakat kecil. Kebijakan yang terkesan “represif” seperti ini menimbulkan kekhawatiran bahwa rezim Prabowo bisa saja memberlakukan aturan-aturan lain yang lebih ketat lagi di masa depan.
Ahmad Khosinudin menilai bahwa kebijakan ini menunjukkan bahwa kabinet Prabowo-Fufufafa berpotensi menjadi pemerintahan yang penuh dengan ancaman bagi usaha kecil. Meskipun mereka menyatakan ingin membantu rakyat, realitas kebijakan yang terjadi justru sebaliknya, dengan aturan yang lebih banyak menekan masyarakat kecil dan menengah.
Keputusan Babe Haekal di BPJPH ini mungkin baru permulaan. Pertanyaan penting yang diangkat oleh Khosinudin adalah apakah pemerintahan Prabowo akan semakin mempersempit ruang kebebasan dengan kebijakan-kebijakan baru yang menyulitkan masyarakat, terutama mereka yang ada di bawah garis ekonomi menengah. Jika pendekatan ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin pemerintah akan menghadapi tekanan dari publik yang merasa tertindas.
Kritik dari Khosinudin ini menyoroti aspek penting dari kepemimpinan Prabowo yang sedang diuji. Sejauh mana pemerintah bisa bertindak tegas tanpa menimbulkan beban berlebih bagi masyarakat? Keputusan dan kebijakan selanjutnya akan menjadi penentu, apakah pemerintah akan berpihak pada kesejahteraan rakyat atau justru memperlihatkan wajah represif yang hanya menambah beban hidup rakyat.
Dengan nada yang tajam, Khosinudin mempertanyakan, “Apakah rezim Prabowo siap mendengarkan aspirasi rakyat, atau justru akan meneruskan kebijakan yang menambah penderitaan?”(c@kra)