MoneyTalk, Jakarta – Dalam podcast yang ditayangkan di kanal YouTube Merdeka pada 25 Oktober 2024, Profesor Stella Christie yang baru saja dilantik sebagai Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi di Kabinet Merah Putih periode 2024-2029, memaparkan pemikirannya tentang pendidikan tinggi dan pentingnya pergeseran paradigma mengenai peran kampus di Indonesia. Pernyataan Profesor Stella menjadi sorotan, terutama tentang bagaimana kampus seharusnya berfungsi sebagai wadah bagi penciptaan ilmu pengetahuan baru, bukan sekadar penyampaian pengetahuan.
Profesor Stella menekankan bahwa pendidikan tinggi seharusnya berbeda dari pendidikan dasar dan menengah. Menurutnya, pendidikan tinggi harus berfokus pada “learning how to create knowledge” atau mempelajari cara menciptakan pengetahuan baru. Dalam pandangannya, banyak yang salah memahami pendidikan tinggi sebagai lanjutan dari SMA dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi, padahal universitas harus menjadi tempat riset dan pengembangan pengetahuan baru.
Paradigma yang lebih baik, menurut Profesor Stella, adalah membangun budaya ilmiah di kampus yang menempatkan para dosen dan mahasiswa untuk aktif melakukan riset. Ini juga mengimplikasikan bahwa universitas bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi juga pusat penciptaan inovasi. Menjadikan riset sebagai aktivitas inti di kampus akan membantu menghasilkan lulusan yang siap menghadapi tantangan global dan berkontribusi secara nyata bagi kemajuan bangsa.
Dalam perbincangannya, Profesor Stella juga membahas bagaimana sistem pendidikan dasar di Indonesia telah mengalami kemajuan dalam hal akses, namun kualitasnya masih perlu diperbaiki, terutama dalam hal kualitas guru. Ia berpendapat bahwa perbaikan di tingkat dasar sangat penting untuk mendukung upaya peningkatan kualitas pendidikan tinggi. Jika kualitas pendidikan dasar tidak memadai, mahasiswa di tingkat perguruan tinggi akan kurang siap untuk mengembangkan pemikiran kritis dan keterampilan riset yang dibutuhkan.
Selain itu, Profesor Stella mengapresiasi langkah pemerintahan Prabowo Subianto yang berfokus pada pembangunan sumber daya manusia, termasuk melalui inisiatif SMA Unggul, di mana ia turut serta dalam perencanaan program ini. Langkah ini, menurutnya, merupakan strategi untuk memperkuat fondasi pendidikan di Indonesia agar menghasilkan generasi yang memiliki kemampuan riset dan inovasi lebih baik.
Salah satu sorotan penting dari Profesor Stella adalah pemahaman yang keliru di masyarakat bahwa riset tidak “menguntungkan” atau bermanfaat bagi ekonomi, sehingga kurang mendapat perhatian atau dana yang memadai. Menurutnya, riset sebenarnya tidak jauh berbeda dengan startup dalam hal kontribusinya bagi inovasi dan solusi bagi masalah riil. Namun, tingkat keberhasilan riset sebenarnya lebih tinggi daripada startup karena riset didasarkan pada metode ilmiah yang ketat dan sistematis, sehingga kegagalannya lebih sedikit.
Beliau juga menyoroti bahwa riset dapat memberikan solusi bagi berbagai masalah dalam skala yang lebih luas, misalnya dalam bidang ekonomi, kesehatan, dan kebijakan publik. Riset yang baik dapat memberikan efisiensi biaya dalam pengambilan kebijakan, seperti menemukan solusi pangan yang lebih murah namun tetap bergizi tinggi atau menentukan kurikulum yang dapat meningkatkan prestasi siswa tanpa memerlukan anggaran besar.
Dalam sistem pendidikan tinggi di negara maju, seperti di Singapura, riset telah diintegrasikan dengan baik sebagai bagian dari aktivitas utama universitas. Negara tersebut meskipun memiliki keterbatasan sumber daya alam, mampu membangun sumber daya manusia berkualitas melalui pendidikan tinggi yang berbasis riset dan inovasi.
Profesor Stella juga menyampaikan pandangannya tentang pentingnya dukungan pemerintah dan sektor swasta dalam pendanaan riset di Indonesia. Menurutnya, pemerintah perlu mengalokasikan dana yang memadai untuk riset karena hasil riset akan memberikan dampak besar bagi kemajuan bangsa. Hasil riset yang efektif dapat menurunkan biaya operasional dalam banyak sektor pemerintahan, dan bahkan bisa memacu inovasi lokal yang mengurangi ketergantungan pada teknologi asing.
Sebagai contoh, riset dapat digunakan untuk menemukan cara pemanfaatan nikel dalam produksi baterai yang efisien dan berbiaya rendah, sehingga Indonesia tidak perlu mengimpor teknologi dari luar negeri. Dengan memanfaatkan hasil riset lokal, Indonesia bisa mengembangkan industri baterai secara mandiri dan memacu ekonomi nasional.
Profesor Stella juga memberikan pandangan bahwa untuk menciptakan budaya riset yang kuat, universitas harus memiliki fasilitas riset yang baik dan tenaga ahli yang mumpuni. Di sinilah pentingnya peran kampus sebagai pusat ilmu pengetahuan yang bukan hanya mendidik mahasiswa, tetapi juga memotivasi mereka untuk menciptakan pengetahuan baru dan berkontribusi bagi masyarakat.
Pernyataan Profesor Stella Christie sejalan dengan semangat reformasi pendidikan di Indonesia. Ia berharap agar masyarakat mulai memandang pendidikan tinggi sebagai sarana untuk menciptakan ilmu baru yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan kompleks dalam berbagai bidang kehidupan. Ia menekankan bahwa keberhasilan pendidikan tinggi dalam menghasilkan inovasi dan pengetahuan baru akan sangat bergantung pada kolaborasi semua pihak, termasuk pemerintah, universitas, sektor swasta, dan masyarakat luas.
Dengan paradigma baru ini, diharapkan pendidikan tinggi di Indonesia mampu menjawab tantangan zaman dan mengangkat nama Indonesia di kancah global sebagai negara yang memiliki sumber daya manusia berkualitas tinggi, inovatif, dan siap bersaing di era digital. Melalui komitmen ini, pendidikan tinggi dapat menjadi pusat riset dan inovasi yang memperkuat ekonomi nasional dan meningkatkan kualitas hidup seluruh masyarakat.(c@kra)