MoneyTalk, Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa inflasi di Indonesia pada bulan Oktober 2024 mencapai 0,08% secara bulanan (month-to-month/mtm) atau sebesar 1,71% secara tahunan (year-on-year/yoy). Inflasi yang stabil ini mendapat tanggapan positif, terutama karena masih berada dalam rentang target Bank Indonesia (BI) yakni ±3%.
Ekonom Bank CIMB Niaga, Mika Martumpal, menilai bahwa berakhirnya tren deflasi selama lima bulan berturut-turut di bulan Oktober menjadi cerminan awal dari stabilnya inflasi di Indonesia, serta mencerminkan keberhasilan pemerintah dan otoritas moneter dalam menjaga tingkat harga di dalam negeri.
Namun, tantangan tetap ada. Perkembangan ekonomi global, seperti penurunan ekonomi Tiongkok dan volatilitas nilai tukar, masih dapat berdampak pada stabilitas ekonomi Indonesia. Berikut adalah analisis mendalam tentang kondisi inflasi di Indonesia, faktor-faktor yang mempengaruhi, serta langkah-langkah yang perlu diambil untuk menjaga stabilitas ini.
Kenaikan inflasi 0,08% pada bulan Oktober menjadi titik balik yang penting setelah periode deflasi sebelumnya. Menurut Mika Martumpal, kondisi inflasi yang berada di bawah median target BI menunjukkan stabilitas tingkat harga. Meski begitu, inflasi inti masih di bawah 2,5%, yang mengindikasikan permintaan domestik, khususnya dalam konsumsi rumah tangga dan investasi, belum sepenuhnya pulih.
Pemerintah dan BI telah mengambil langkah pengendalian harga yang cukup efektif, khususnya pada komponen harga yang sering berfluktuasi, seperti bahan makanan. Stabilitas pasokan bahan pokok juga menjadi kunci dalam menjaga harga-harga di pasaran. Jika ditarik ke belakang, inflasi tertinggi tahun ini yang mencapai 3% terjadi pada Maret, yang terutama didorong oleh kenaikan harga bahan makanan. Dengan penurunan inflasi ini, bisa disimpulkan bahwa kondisi pasokan sudah membaik dan langkah-langkah pengendalian harga berhasil dilakukan.
Seiring dengan stabilnya inflasi domestik, terdapat beberapa tantangan eksternal yang perlu diwaspadai. Salah satunya adalah perlambatan ekonomi Tiongkok, yang merupakan mitra dagang utama Indonesia. Penurunan permintaan dari Tiongkok dapat berdampak pada sektor ekspor Indonesia, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi perekonomian dalam negeri dan daya beli masyarakat.
Selain itu, volatilitas nilai tukar rupiah akibat fluktuasi suku bunga global juga mempengaruhi harga-harga di dalam negeri. Menurut Mika, kebijakan moneter global, terutama dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat, memiliki efek lanjutan terhadap nilai tukar, yang pada akhirnya berdampak pada harga barang-barang impor dan inflasi dalam negeri.
Deflasi yang terjadi selama lima bulan sebelumnya juga menimbulkan kekhawatiran akan daya beli masyarakat yang menurun. Dalam konteks ini, angka inflasi yang positif pada bulan Oktober, meski kecil, menjadi indikasi awal bahwa daya beli masyarakat mulai pulih. Namun, hal ini belum cukup untuk menjadi sinyal bahwa permintaan agregat telah benar-benar menguat.
Pemerintah perlu memperhatikan data lain seperti pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga 2024, indeks manufaktur, dan data lapangan pekerjaan sebagai indikator tambahan untuk menilai apakah ekonomi telah mengalami perbaikan yang berkelanjutan. Jika data-data ini menunjukkan pertumbuhan yang positif, maka dapat disimpulkan bahwa konsumsi rumah tangga mulai membaik.
Menurut Mika, menjaga inflasi dalam rentang target BI merupakan langkah penting dalam menstabilkan perekonomian. Salah satu cara yang diusulkan adalah dengan meningkatkan inflasi inti, yaitu inflasi yang mencerminkan tingkat permintaan domestik. Dalam jangka panjang, peningkatan inflasi inti yang stabil dapat menjadi indikator positif bahwa permintaan domestik terus meningkat, yang juga akan berdampak baik pada tingkat produksi dan investasi dalam negeri.
Meningkatnya inflasi inti ini diharapkan dapat mendekati median target BI di level 2,5%. Dengan permintaan agregat yang lebih kuat, tingkat inflasi ini dapat mempertahankan daya beli masyarakat tanpa menimbulkan tekanan inflasi yang terlalu tinggi.
Stabilitas inflasi pada bulan Oktober 2024 menjadi pertanda positif bahwa pengendalian harga di dalam negeri berjalan efektif. Berakhirnya tren deflasi menandakan awal dari stabilitas harga yang perlu dijaga, terutama di tengah tantangan global seperti perlambatan ekonomi Tiongkok dan volatilitas nilai tukar rupiah.
Meskipun inflasi masih berada dalam batas aman, pemerintah dan BI perlu terus memonitor perkembangan global serta melakukan kebijakan yang dapat memperkuat permintaan domestik. Dengan mengoptimalkan potensi pasar domestik serta menjaga stabilitas harga, Indonesia dapat menjaga laju inflasi yang sehat dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Perkembangan positif pada angka inflasi ini diharapkan menjadi awal dari pemulihan daya beli masyarakat, yang didukung oleh peningkatan inflasi inti dan penguatan permintaan domestik. Jika pemerintah dapat menjaga keseimbangan antara permintaan dan penawaran, Indonesia berpeluang mempertahankan stabilitas inflasi yang mendukung pemulihan ekonomi pascapandemi.(c@kra)