MoneyTalk, Jakarta – Dalam siaran pers yang diterima MoneyTalk pada Minggu (3/11), Defiyan Cori, seorang ekonom konstitusi, memberikan pernyataan cukup tajam mengenai penetapan tersangka terhadap mantan Menteri Perdagangan Thomas Lembong oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Defiyan menyoroti adanya kemungkinan politik tebang pilih dalam proses penetapan tersebut, serta menuntut agar penegakan hukum terhadap kasus penyalahgunaan wewenang dalam kebijakan impor pangan, termasuk impor gula yang melibatkan Lembong, dijalankan secara menyeluruh dan konsisten.
Menurut Defiyan, praktik permainan izin impor sudah berlangsung jauh sebelum era Lembong, jika penegakan hukum benar-benar ingin dijalankan secara adil, penyelidikan harus mencakup seluruh periode pemerintahan yang relevan, baik sebelum maupun setelah masa jabatan Lembong.
Dalam pernyataannya, Defiyan memberikan apresiasi atas upaya Kejagung dalam mengungkap tindak pidana yang melibatkan Lembong, terutama terkait kasus impor gula. Ia mengakui langkah ini adalah bagian dari komitmen Kejagung untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan transparan. Hal ini sejalan dengan visi Presiden Prabowo Subianto.
Defiyan juga menegaskan, publik mendukung penuh tindakan Kejagung terhadap berbagai kasus korupsi yang melibatkan pejabat pemerintah. Namun, dengan catatan prosesnya harus dijalankan tanpa memihak atau mengesampingkan pelaku lain yang mungkin terlibat dalam kasus serupa.
Defiyan menyoroti bagaimana kebijakan impor yang tidak transparan, khususnya pada komoditas seperti gula, beras, garam, terigu, serta minyak dan gas bumi (Migas), dapat merugikan kepentingan ekonomi domestik. Ia mengungkapkan kekhawatiran atas dampak ekonomi dari kebijakan ini, yang dinilai mengabaikan potensi kerugian besar, khususnya bagi para petani dan pelaku industri dalam negeri.
Sebagai contoh, ia menyoroti data impor garam pada April 2023 yang mencapai 2,8 juta ton dan menghabiskan devisa senilai Rp1,35 triliun atau setara dengan US$135,3 juta. Jumlah ini melonjak tajam dari nilai impor garam pada tahun 2022 yang hanya sebesar US$124,4 juta.
Menurutnya, kebijakan impor yang cenderung tidak terkendali ini bukan hanya menyebabkan pengeluaran devisa yang besar, tetapi juga mengancam petani garam lokal yang semakin tertekan oleh masuknya garam impor.
Defiyan mendesak agar pemerintah melalui Kementerian Perdagangan bekerja sama dengan kementerian terkait seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Perindustrian, untuk mencari solusi jangka panjang. Solusi ini diharapkan mampu menurunkan ketergantungan pada impor dan meningkatkan kesejahteraan petani garam dan pelaku industri domestik.
Defiyan menggarisbawahi ketergantungan Indonesia terhadap impor berbagai komoditas strategis, yang menurutnya semakin memprihatinkan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), volume impor garam tahun 2023 meningkat signifikan dibandingkan tahun 2021, dan kenaikan ini dinilai tidak diimbangi dengan kebijakan perlindungan terhadap petani lokal.
Defiyan mengingatkan, kebijakan ekonomi nasional seharusnya lebih proaktif dalam melindungi produksi domestik. Terutama komoditas yang bisa dihasilkan sendiri di dalam negeri.
Tidak hanya itu, Defiyan menyoroti lonjakan impor minyak dan gas bumi (migas) yang volumenya meningkat lebih dari dua kali lipat sejak 2019. Pada September 2024, impor migas telah mencapai nilai US$26,742 juta atau setara dengan Rp421,186 triliun. Angka ini menunjukkan ketergantungan besar Indonesia pada energi impor, yang berdampak langsung terhadap keseimbangan neraca perdagangan dan menekan stabilitas ekonomi nasional.
Defiyan menegaskan bahwa penegakan hukum tidak boleh berhenti pada satu individu atau satu periode tertentu saja. Ia mendesak Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus, Abdul Qohar, untuk melakukan investigasi lebih dalam terhadap semua pelaku yang mungkin terlibat dalam kebijakan impor yang merugikan kepentingan nasional.
Menurutnya, jika Kejagung ingin bersikap adil dan transparan, investigasi harus menyasar seluruh pejabat yang pernah memegang kebijakan importasi pangan, termasuk periode sebelum dan sesudah Thomas Lembong.
Tak hanya itu, Defiyan juga menegaskan pentingnya dukungan publik terhadap upaya pemberantasan korupsi yang lebih menyeluruh. Ia berharap penanganan kasus ini dapat menjadi langkah awal untuk memperbaiki sistem kebijakan impor di Indonesia dan mengurangi praktik korupsi yang merugikan perekonomian serta kesejahteraan masyarakat.
Defiyan Cori menyerukan adanya reformasi dalam kebijakan impor dan sistem hukum di Indonesia. Harapannya, pemerintah bisa lebih bijaksana dalam menentukan kebijakan yang tidak hanya menguntungkan kelompok tertentu, tetapi juga berpihak pada kepentingan rakyat banyak.(c@kra)