Kontroversi Kunjungan Prabowo ke Jokowi, Analisis Makna Sowan

  • Bagikan
Kontroversi Kunjungan Prabowo ke Jokowi, Analisis Makna Sowan
Kontroversi Kunjungan Prabowo ke Jokowi, Analisis Makna Sowan

MoneyTalk, Jakarta – Pada 4 November 2024, Edy Mulyadi melalui kanal YouTube-nya di Forum News Network (FNN) mengundang Sutoyo Abadi, seorang dosen dan analis politik dari Kajian Merah Putih. Topik utama diskusi mereka adalah interpretasi pertemuan-pertemuan antara Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Presiden Joko Widodo.

Dalam obrolan tersebut dibahas berbagai spekulasi seputar dinamika politik yang sedang terjadi, terutama kaitannya dengan pengaruh taipan dalam politik Indonesia, kemungkinan skenario di balik penunjukan Gibran Rakabuming sebagai calon wakil presiden, serta makna dari “sowan” atau kunjungan Prabowo ke Jokowi. Sutoyo mengungkapkan pandangan kritis terhadap situasi ini, menggambarkan Prabowo sebagai sosok yang seolah “minder” dan “tidak percaya diri” dalam menghadapi Jokowi. Artikel ini akan menguraikan poin-poin utama dari pernyataan tersebut serta meninjau kembali makna dari analisis Sutoyo yang mengundang perhatian publik.

Dalam perbincangan ini, kata “sowan” menjadi fokus. Menurut Sutoyo, istilah Jawa ini merujuk pada kunjungan yang dilakukan oleh pihak yang lebih rendah (inferior) ke pihak yang lebih tinggi (superior). Hal ini, menurutnya, membawa makna bahwa Prabowo yang kini menjabat sebagai Menteri Pertahanan, kerap menunjukkan sikap rendah hati atau bahkan kurang percaya diri di hadapan Jokowi, meski ia adalah seorang mantan pesaing Jokowi dalam pemilihan presiden. Selain itu, Sutoyo juga menyoroti bahwa tindakan Prabowo ini bisa dilihat sebagai bentuk “pengabdian” atau penghormatan yang berlebihan, yang memperlihatkan seolah-olah Prabowo bergantung kepada Jokowi dalam menjalankan tugas-tugasnya.

Sutoyo melanjutkan analisisnya dengan menghubungkan pengaruh taipan atau konglomerat dalam dinamika politik Indonesia. Ia menyebut sosok Datuk Sri Tahir, salah satu taipan yang berperan dalam berbagai kebijakan nasional, termasuk dalam dukungan terhadap Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden. Menurut Sutoyo, keberadaan taipan dalam dunia politik telah memberikan dampak signifikan pada keputusan-keputusan politik, termasuk pada bagaimana seorang pejabat atau pemimpin bertindak. Ia menegaskan bahwa pengaruh ini sangat kuat, bahkan mendominasi sampai pada titik di mana Prabowo terlihat “minder” di hadapan Jokowi, karena kekuatan finansial yang menopang kebijakan pemerintah.

Salah satu aspek paling menarik dalam diskusi ini adalah anggapan bahwa Prabowo menunjukkan ketidakpercayaan diri yang signifikan sebagai Menteri Pertahanan dan calon pemimpin masa depan. Sutoyo menyebut Prabowo seolah tidak berani memimpin dan mengambil keputusan sendiri tanpa dukungan dari Jokowi. Hal ini, menurutnya, menjadi penghalang besar bagi Prabowo untuk dapat membentuk identitasnya sebagai pemimpin yang independen dan kuat. Bahkan, ia mengibaratkan Prabowo seperti seorang “pengemis” yang datang kepada Jokowi, bukan sebagai seorang mitra sejajar.

Sutoyo juga menyoroti bagaimana pidato-pidato Prabowo yang dianggapnya sering kali berisi retorika tanpa tindak lanjut yang nyata. Ia menyebutkan contoh ketika Prabowo mengutarakan janji-janji besar, seperti memberantas korupsi dan menghentikan utang luar negeri. Menurut Sutoyo, janji-janji ini akan tetap menjadi sekadar “omong kosong” atau “palsu” jika tidak disertai tindakan nyata. Ia menilai masyarakat telah “terbius” dengan pidato-pidato yang mengesankan, tetapi tidak didukung oleh kenyataan. Bagi Sutoyo, sikap ini justru menunjukkan kelemahan Prabowo sebagai pemimpin yang memiliki komitmen rendah dalam menjalankan janji-janji politiknya.

Selama diskusi, Edy Mulyadi dan Sutoyo juga mendalami skenario yang mungkin ada di balik kunjungan-kunjungan Prabowo ke Jokowi. Sutoyo meyakini bahwa kunjungan-kunjungan tersebut bukanlah sekadar silaturahmi biasa, melainkan bagian dari strategi yang telah direncanakan. Hal ini mengarah pada dugaan bahwa ada agenda tertentu di balik pertemuan mereka. Bahkan, Sutoyo merujuk pada pernyataan mantan Presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt bahwa “tidak ada yang terjadi secara kebetulan dalam politik.” Menurut Sutoyo, apa yang terjadi antara Prabowo dan Jokowi dapat dipandang sebagai skenario besar yang disusun untuk menguatkan posisi tertentu dalam pemerintahan, terutama dengan adanya dukungan dari para taipan.

Sebagai penutup, Sutoyo memberikan peringatan keras kepada Prabowo agar menunjukkan sikap yang lebih mandiri dan percaya diri dalam memimpin. Sutoyo berpendapat bahwa Prabowo harus mengembalikan jati dirinya sebagai sosok pemimpin yang berwibawa dan tidak lagi terlihat “memalukan” dengan terus bergantung pada Jokowi. Bagi Sutoyo, ini adalah langkah penting yang harus ditempuh oleh Prabowo untuk menjaga harga diri dan menunjukkan bahwa ia adalah pemimpin yang berdaulat, bukan sekadar pelengkap dalam pemerintahan. Ia juga memperingatkan bahwa jika Prabowo tidak mampu menunjukkan sikap yang lebih tegas, masa depan politik Indonesia akan semakin dikuasai oleh kepentingan oligarki dan taipan.

Pernyataan Edy Mulyadi dan Sutoyo Abadi menggarisbawahi keraguan tentang kemampuan Prabowo untuk menjadi pemimpin yang mandiri dan kuat. Dalam diskusi ini, Sutoyo memaparkan bagaimana pengaruh taipan, makna kunjungan atau “sowan” Prabowo kepada Jokowi, serta retorika politik yang tidak disertai tindakan nyata dapat memengaruhi persepsi publik terhadap masa depan politik Indonesia. Sutoyo mengingatkan bahwa seorang pemimpin yang terus bergantung pada dukungan dari pihak lain akan sulit memperoleh kepercayaan penuh dari rakyat. Hal ini menjadi tantangan besar bagi Prabowo jika ingin membuktikan dirinya sebagai pemimpin yang layak dihormati dan tidak sekadar mengikuti jejak pendahulunya tanpa inisiatif baru.(c@kra)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *