Laut Natuna Utara dan Geopolitik Kawasan Asia-Pasifik

  • Bagikan
Laut Natuna Utara dan Geopolitik Kawasan Asia-Pasifik
Laut Natuna Utara dan Geopolitik Kawasan Asia-Pasifik

MoneyTalk, Jakarta – Melanjutkan diskusi yang diadakan di kanal YouTube Hamid Nasution pada Jumat, 15 November dengan Tjoki Aprianda S.I.P., M.A., pengamat kebangsaan dan kebijakan luar negeri. Pada sesi ini Tjoki membahas isu strategis mengenai Laut Natuna Utara dan hubungannya dengan klaim Laut China Selatan.

Tjoki juga menyoroti kebijakan luar negeri Indonesia, posisi strategis kawasan Asia-Pasifik, serta dinamika hubungan Tiongkok, Taiwan, dan negara-negara lain. Pernyataan ini menjadi penting dalam memahami tantangan dan peluang kebijakan luar negeri Indonesia.

Tjoki menjelaskan bahwa penamaan Laut Natuna Utara adalah langkah strategis Indonesia untuk menegaskan kedaulatan di perairan tersebut. Nama ini secara tidak langsung mengirim pesan kepada komunitas internasional bahwa perairan tersebut adalah bagian dari wilayah Indonesia, bukan wilayah Laut China Selatan.

“Penamaan ini memberikan ciri kepada publik internasional bahwa Laut Natuna Utara adalah perairan Indonesia, bukan bagian dari Laut China Selatan,” ujar Tjoki.

Selain itu, ia menggarisbawahi bahwa klaim unilateral Tiongkok di Laut China Selatan tidak diakui oleh masyarakat internasional, termasuk negara-negara yang juga memiliki klaim, seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, dan entitas Taiwan. Menurutnya, posisi Indonesia sudah jelas: menolak klaim Tiongkok dengan dasar kedaulatan dan hukum internasional.

Tjoki menyampaikan pandangannya terkait sejarah panjang klaim Tiongkok di Laut China Selatan. Klaim tersebut, yang didasarkan pada “sembilan garis putus-putus” (nine-dash line), baru mulai intensif sekitar tahun 1960-an hingga 1970-an. Sebelumnya, Tiongkok lebih fokus pada urusan domestik, seperti perang saudara dan konflik regional.

“Tiongkok menggunakan filosofi Middle Kingdom (kerajaan di tengah) dalam memandang posisinya di dunia,” jelasnya.

Pandangan ini menjadi dasar bagi Tiongkok untuk memperluas pengaruhnya di kawasan, termasuk dengan cara mengklaim pulau-pulau di Laut China Selatan.

Namun, Tjoki menegaskan bahwa klaim Tiongkok tersebut tidak memiliki dasar hukum internasional. Dalam sengketa di Pengadilan Arbitrase Internasional tahun 2016, klaim Tiongkok ditolak, meski negara tersebut tidak mengakui putusan tersebut.

Terkait kebijakan One China Policy, Tjoki menjelaskan bahwa Indonesia sejak lama mengakui Tiongkok daratan (mainland China) sebagai pemerintahan resmi yang sah, dan menganggap Taiwan sebagai bagian dari Tiongkok. Hubungan Indonesia dengan Taiwan hanya terbatas pada bidang ekonomi, tanpa pengakuan politik.

Tjoki memperingatkan, jika Tiongkok memutuskan untuk mengambil alih Taiwan secara paksa, hal ini bisa memicu konflik besar di kawasan Asia-Pasifik.

“Pengambilalihan Taiwan secara damai, seperti model Hong Kong, akan lebih elegan dibandingkan langkah militer yang bisa memicu perang besar,” tambahnya.

Amerika Serikat memiliki posisi yang unik dalam isu Taiwan. Di satu sisi, AS mengakui kebijakan One China. Di sisi lain, melalui Undang-Undang Hubungan Taiwan (Taiwan Relations Act), AS berkomitmen untuk membantu Taiwan jika diserang oleh Tiongkok.

Tjoki menjelaskan bahwa kehadiran Amerika Serikat di kawasan Asia-Pasifik menjadi salah satu faktor yang menahan ambisi Tiongkok untuk melakukan tindakan militer terhadap Taiwan.

“Adanya perjanjian keamanan antara AS dan Taiwan menciptakan situasi saling menahan diri,” ungkapnya.

Jika konflik terbuka terjadi antara Tiongkok dan Taiwan, dampaknya akan sangat besar, tidak hanya bagi kawasan Asia-Pasifik tetapi juga bagi dunia. Tjoki memperkirakan bahwa konflik ini bisa memicu perang dunia baru karena melibatkan kekuatan besar seperti AS dan sekutunya.

Indonesia, dengan posisinya yang strategis, harus berhati-hati. Tjoki mengingatkan pentingnya pendekatan diplomatik untuk menjaga stabilitas kawasan. Kerja sama ekonomi dengan Tiongkok melalui inisiatif seperti Belt and Road Initiative dapat menjadi alat untuk meredam ketegangan.

“Indonesia harus tetap menegaskan kedaulatannya, tetapi juga menjaga hubungan baik dengan semua pihak untuk memastikan kawasan tetap damai,” katanya.

Dalam pandangan Tjoki Aprianda, Indonesia harus memainkan peran strategis sebagai negara netral yang menjaga stabilitas kawasan. Menurutnya, kebijakan luar negeri Presiden Prabowo yang menekankan kedaulatan nasional adalah langkah yang tepat, namun harus diimbangi dengan diplomasi yang efektif untuk menghindari eskalasi konflik.

Pernyataan Tjoki memberikan perspektif penting dalam memahami dinamika geopolitik di Asia-Pasifik. Laut Natuna Utara, kebijakan One China, dan hubungan Indonesia dengan Tiongkok menjadi isu strategis yang harus terus dipantau. Indonesia tidak hanya harus menjaga kedaulatan wilayah, tetapi juga memastikan kawasan tetap damai dan stabil.(c@kra)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *