MoneyTalk, Jakarta – Ketegangan di wilayah Laut Natuna kembali mencuat dalam diskusi terbaru mengenai kebijakan Indonesia terhadap klaim sembilan garis putus yang diajukan oleh China. Diskusi ini mencakup pandangan dari Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno, Hikmahanto Juwana (Guru Besar Hukum Internasional UI dan Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani), serta Eddy Pratomo (Diplomat Senior dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila).
Dalam podcast politik Akbar Faizal Uncensored yang diselenggarakan oleh Nagara Institute, pernyataan-pernyataan menggarisbawahi kompleksitas diplomasi dan penegasan sikap Indonesia.
Wakil Menteri Luar Negeri, Arif Havas Oegroseno, menjelaskan bahwa Indonesia tetap berpegang teguh pada prinsip yang didasarkan pada United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Dalam diskusi, Oegroseno menegaskan bahwa Indonesia tidak mengakui klaim sembilan garis putus (nine-dash line) yang diajukan oleh China.
“Kita tidak mengakui n dashes line tersebut. Kita tetap konsisten dengan peta nasional yang diakui, termasuk keputusan PCA (Permanent Court of Arbitration) yang meski tidak legally binding, penting sebagai yurisprudensi hukum internasional,” ujarnya.
Oegroseno juga menyatakan bahwa sikap ini sudah disosialisasikan ke berbagai pihak, termasuk negara-negara tetangga yang memiliki kepentingan di wilayah Laut Natuna dan sekitarnya. Menurutnya, langkah ini dilakukan untuk memastikan bahwa Indonesia tidak mengubah posisi kebijakan luar negeri terkait kedaulatan dan klaim maritim.
Hikmahanto Juwana mengungkapkan pentingnya kebijakan luar negeri yang konsisten dan transparan. Dalam diskusi tersebut, ia menekankan bahwa kebijakan apa pun yang melibatkan klaim dan kerjasama maritim perlu dikonsultasikan dengan instansi terkait, seperti DPR dan Kementerian Luar Negeri, agar kebijakan ini dapat diterima dan dipertahankan oleh birokrasi yang ada.
“Presiden, siapapun yang menjabat, harus memahami bahwa birokrasi di Kementerian Luar Negeri memiliki sejarah panjang dan pengalaman yang mendalam tentang isu Laut Natuna ini,” tegas Hikmahanto.
Ia mengingatkan, perubahan kebijakan besar memerlukan konsultasi dengan DPR untuk memastikan legitimasi dan penerimaan domestik.
Eddy Pratomo menyoroti bagaimana langkah diplomatik perlu didukung dengan komunikasi yang jelas dan menyeluruh, baik di tingkat nasional maupun internasional. Menurut Pratomo, sikap Indonesia terhadap sembilan garis putus harus diperjelas, tidak hanya untuk publik domestik tetapi juga untuk negara-negara sahabat.
“Jangan sampai ada persepsi yang berbeda di kalangan negara-negara ASEAN atau bahkan China sendiri,” ujarnya.
Eddy menekankan bahwa perlu ada komunikasi proaktif, termasuk penjelasan yang diberikan melalui para duta besar Indonesia di berbagai negara.
Diskusi juga menyentuh isu kontroversial terkait usulan joint development (pengembangan bersama) di wilayah yang memiliki klaim tumpang tindih. Meski tujuan utama dari pendekatan ini adalah mengurangi ketegangan dan meningkatkan kerjasama ekonomi, ide tersebut mengundang pertanyaan tentang komitmen Indonesia terhadap prinsip-prinsip hukum yang telah ditetapkan.
Havas menegaskan bahwa joint development hanya mungkin dilakukan jika sesuai dengan hukum nasional dan internasional yang diakui.
“Indonesia tidak akan melaksanakan joint development di wilayah yang kita klaim sepenuhnya sebagai hak kedaulatan kita,” kata Havas.
Eddy Pratomo menambahkan bahwa setiap pernyataan atau langkah kebijakan harus dikaji dengan cermat untuk menghindari interpretasi yang menguntungkan pihak lain, dalam hal ini China, yang dapat memanfaatkan kalimat-kalimat ambigu.(c@kra)