MoneyTalk, Jakarta – Sejarah selalu berulang dan akan terus berulang. Tahun 1453, Konstantinopel jatuh ke tangan Kesultanan Utsmaniyah di bawah kepemimpinan Sultan Muhammad II.
Jatuhnya Konstantinopel ini menyulitkan perdagangan Eropa, karena akses ke Kota Pelabuhan Istanbul dibatasi oleh kebijakan Kesultanan Utsmaniyah. Akibatnya, pedagang Eropa kesulitan mendapatkan barang dagangan penting dari pedagang Asia yang berdagang di Istanbul, seperti rempah-rempah dari Indonesia.
Sementara itu wilayah barat Eropah masih dikuasai oleh kekhilafaan Islam dinasti Umayyah.
Sehingga bangsa Eropah terkepung oleh kekhilafaan Islam dan mereka menjuluki diri mereka sendiri pada periode ini, hidup dalam abad kegelapan, karena terbatasnya akses terhadap ilmu pengetahuan dan sumber ekonomi maupun wilayah kekuasaan.
Namun, roda sejarah terus berputar sesuai dengan sunatullah, yaitu ketika para penguasa Islam dari berbagai dinasti, baik Umayyah, Abasiyyah maupun Ustmaniyyah bergelimang kemewahan dan hedonisme, kemorosotan ahlak dan moral dengan berbagai maksiat, korupsi di tubuh penyelenggara negara, sementara rakyatnya hidup dalam kesusahan, maka melemah dan bahkan jatuhlah para penguasa tersebut.
Bangkitnya bangsa Eropah ketika mereka mulai merebut kembali wilayah Barat Eropah dari tangan keturunan dinasti Umayyah di Andalusia, yang sudah terpecah belah menjadi beberapa kerajaan kecil.
Persatuan dua kerajaan di Spanyol yang dipimpin oleh Raja Ferdinan dan Ratu Isabela, akhirnya berhasil merebut satu persatu kerajaan kerajaan kecil sisa sisa kekhilafaan Umayyah di Andalusia.
1238 Masehi mereka berhasil merebut Cordoba, diikuti Sevilla pada 1248 Masehi.
Tinggal Granada yang masih bertahan saat itu.
Setelah berkali-kali berperang, akhirnya pada 2 Januari 1492 Kesultanan Granada menyerah dan meninggalkan tanah Eropah, hingga saat ini.
Beberapa bulan setelah kesultanan Granada, sebagai kesultanan terakhir dari kekhilafaan Umayyah di Andalusia jatuh, mulailah bangsa Eropah, yakni dimulai dari bangsa Spanyol, membuka blokade selat Giblartar, dan memulai misi dagang pencarian bahan baku untuk kehidupan yang sekaligus ditumpangi misi pencarian tanah yang dijanjikan untuk kaum Yahudi yang berdiaspora di Eropah. Kaum Yahudi di Spanyol khususnya, setelah jatuhnya Dinasti Umayyah di Andalusia ini, ikut terkena dampak dari tindakan presekusi kerajaan kristen raja Ferdinan dan Ratu Isabela. Sehingga mereka yg tidak mau meninggalkan agama Yahudi, yang sebelumnya hidup damai dalam lindungan kekhilafaan Islam dinasti Umayyah, harus ikut meninggalkan Andalusia dan mengungsi ke berbagai wilayah kesultanan Islam di afrika utara, termasuk di wilayah kekuasaan kekhilafaan Islam dinasti Ustmaniyyah di Syam.
Dari catatan yang ditulis oleh Henry Ford, pendiri pabrik mobil merk Ford, yang di publikasi kisaran tahun 1920, dalam koran mingguan The Dearborn Independent, miliknya, dan di pimpin oleh William J Cameron, setidaknya ada 5 orang yahudi yang “menyusup” dalam kapal dagang Christopher Columbus, yaitu ; Luis de Torres sebagai penerjemah, Marco sebagai ahli bedah, Bernal sebagai dokter, Alonzo de la Caile dan Gabriel Sanchez.
Kelima orang yahudi ini sesungguhnya membawa misi lain, dari misi Columbus, yaitu misi mencari tanah yang dijanjikan untuk bangsa yahudi. Untuk selanjutnya akan dibuat tulisan terpisah terkait hal ini.
Kembali ke misi dagang Columbus, Antara tahun 1492 sampai 1504, Christopher Columbus, memimpin empat kali pelayaran jelajah Spanyol mengarungi Samudra Antlantik ke Benua Amerika.
Pelayaran pertama 3 Agustus 1492, lalu berlanjut 1493, 1498, dan 1502. Christopher Columbus adalah navigator kelahiran Republik Genova yang melakukan pelayaran jelajah bagi kepentingan Daulat Mahkota Kastila (cikal bakal Kerajaan Spanyol modern) dalam rangka mencari jalur barat menuju Hindia, negeri di Asia Timur yang dibayangkan sebagai sumber rempah-rempah dan berbagai macam barang berharga buatan Dunia Timur yang kala itu hanya mungkin didapatkan dengan susah payah lewat jalur-jalur darat.
Namun Columbus ternyata tersesat ke benua Amerika yang dikira sebagai India, sehingga bangsa Indian yang bermukim di benua Amerika, hingga hari ini disebut dengan label bangsa Indian, yang bermula dari kesalahpahaman tim Columbus.
EKSPEDISI TIMUR
Setelah blessing in disguise pelayaran Columbus ke arah belahan barat dunia yang saat ini menghasilkan negara Amerika Serikat dan pusat Dagang di New York, misi pencarian rempah dan hasil bumi, terus berlanjut ke arah belahan timur bumi.
Sebagaimana dikutip dari detikedu, merujuk pada beberapa sumber, Portugis merupakan bangsa Eropa pertama yang masuk ke Indonesia. Pada tahun 1509, Bangsa Portugis mendirikan kantor dagangnya di Gowa.
Kemudian, pada tahun 1511, di bawah pimpinan d’Albuquerque, Portugis berhasil menguasai Malaka.
Di bawah pimpinan d’Abreu tiba di Maluku pada tahun 1512, Portugis diterima baik oleh Sultan Ternate yang sedang bermusuhan dengan Tidore. Bangsa portugis mendirikan benteng dan memonopoli perdagangan rempah-rempah di sana.
Selain itu, tokoh Franciscus Xaverius dari Portugis juga aktif menyebarkan ajaran nasrani.
Portugis tidak hanya fokus di Maluku tetapi juga beraktivitas di Pajajaran, di Indonesia bagian barat pada tahun 1522, dengan harapan mendapatkan dukungan melawan ekspansi Demak.
Kehadiran misi dagang bangsa Eropah di wilayah Nusantara, tidak berhenti hanya orang orang portugis semata, namun berlanjut oleh misi dagang Belanda.
Pada 1595, Belanda berlayar ke Nusantara dengan empat kapal pimpinan Cornelis de Houtman, melewati rute Afrika Barat – Tanjung Harapan – Samudra Hindia – Selat Sunda – Banten.
Kemudian, rombongan kedua di bawah Jacob van Neck tiba di Banten pada 1598, diterima baik karena Banten sedang bertengkar dengan Portugis. Belanda pandai berhubungan dengan Banten dan berhasil mengirim rempah-rempah ke Belanda. Ini membuat pedagang Belanda tertarik ke Indonesia dan menyebabkan persaingan.
Melihat situasi ini, Olden Barneveld mengusulkan pembentukan Vereenigde Oost Indiesche Compagnie (VOC) pada 1602 untuk mengelola perdagangan di Hindia Timur.
Inggris pun tak mau ketinggalan dalam perburuan hasil bumi ini. Pada awalnya, Inggris mencari rempah-rempah di India dan membentuk East India Company (EIC). Kemudian, Inggris berlayar ke Indonesia untuk berdagang rempah-rempah.
Meskipun Belanda berkuasa di Indonesia, Inggris mencoba mengganggu monopoli perdagangan Belanda dengan VOC.
Pada tahun 1602, Inggris mendirikan kantor dagang di Banten dan Jayakarta. Hingga pada abad ke-16, Inggris membuka banyak kantor dagang di Indonesia, termasuk Gowa, Makassar, dan Aceh.
Awalnya kolonialisme bangsa Eropa berfokus utama dalam mengendalikan ekonomi suatu wilayah.
Kemudian, pihak kolonial akan mencoba mengambil alih kendali politiknya, karena bangsa Eropa ingin menjaga stabilitas ekonomi tanpa campur tangan penguasa atau politisi setempat.
Untuk itu, mereka terlibat dalam urusan politik daerah tersebut dengan berbagai cara, seperti memengaruhi pemilihan penguasa, mendukung kerajaan tertentu untuk menguasai wilayah lain, atau membuat perjanjian dengan penguasa setempat.
Sejarah korporasi dagang yang kemudian ikut mengendalikan politik pada masa lalu, rupanya terus berulang sebagaimana judul tulisan ini.
STATE CORPORATE CRIME
Pada masa kini, korporasi dagang model VOC, telah bermetamorfose sedemikan rupa.
Sebenarnya modusnya tidak canggih canggih amat, sama seperti modus saat kolonial Belanda bercokol di Nusantara.
Bermula dari membuat kantor dagang, lalu berkembang menjadi koloni tempat tinggal misi dagang, lalu akhirnya mempengaruhi kebijakan, lalu meningkat mempengaruhi pemilihan penguasa, membeli penguasa, lalu meningkat lagi menugaskan dan menempatkan pegawai korporasinya menjadi penguasa.
Pada era kekinian, yaitu era bernama Republik Indonesia, kita bisa menyaksikan sendiri, bagaimana berbagai korporasi asing dan aseng, mempermainkan sistem politik dan para aktor politik.
Secara sistem, state corporate crime ini (baik aseng maupun aseng keturunan dan asing) telah berhasil mengganti tujuan dan sistem dasar bernegara. Dari semula bernegara dengan dengan tujuan melindungi segenap tumpah darah indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menjaga perdamaian abadi, telah berubah menjadi menjual tanah air dalam arti harafiah dan hakekat, mensejahterahkan segelintir keturunan aseng, membodohi kehidupan bangsa, dan memberi upeti kepada preman preman dunia.
Sistem politik yang dibangunpun dari sistem perwakilan menjadi sistem individualistik liberal.
Sehingga Republik Indonesia saat ini berada dalam cengkraman State Corporate Crime, melalui assymetric warfare.
ANCAMAN HAMBATAN TANTANGAN DAN GANGGUAN KE DEPAN
Bila kita perhatikan modus kolonialisme masa lalu, yang bermula dari mendirikan koloni koloni sebagai pemukiman ekslusif di tanah yang menjadi target untuk dijajah, maka saat ini berbagai koloni tersebut telah ada di dalam wilayah Republik Indonesia.
Jadi selain ancaman dari state actor seperti Amerika Serikat dan Republik Rakyat China dalam bentuk skema economic warfare maupun military warfare, AHTG terhadap Republik Indonesia saat ini yang juga nyata adalah berasal dari non state actor, yaitu Corporate Crime.
Corporate Crime ini telah menyusup kedalam tubuh penyelenggara negara, baik dengan “membeli maupun dengan mengijon”, mendikte pembuat kebijakan dan mengontrol aparat penegak hukum.
Salah satu contoh nyata adalah dalam hal penentuan Proyek Strategis Nasional (PSN). Dalam penentuan PSN ini, ada banyak terdapat kepentingan dan murni urusan korporasi, namun Corporate Crime, berhasil mendikte dan mengendalikan pembuat kebijakan, sehingga proyek yang hakekatnya adalah semata mata kepentingan bisnis korporasi, oleh pembuat kebijakan yang berhasil dibeli, dijadikan sebagai PSN melalui instrumen kebijakan negara.
Contoh PIK dan BSD, dua proyek ini, sesungguhnya TIDAK ADA kaitan dengan Kepentingan Nasional Republik Indonesia.
PIK dan BSD yang diselundupkan menjadi PSN melalui Permenko No.6 Tahun 2024 ini, patut diduga keras sebagai imbal balik dari jasa korporasi yang telah “banyak membantu” dalam kontestasi pemilu yang lalu. Kita bisa lihat bahwa Permenko No. 6/2024 ini, tepat di tandatangani dan diberlakukan pada 15 Mei 2024, yaitu paska dibacakannya putusan MK tentang sengketa hasil Pilpres 22 April 2024. Lebih kurang 3 minggu setelah putusan MK tersebut, maka pihak yang membantu dalam perhelatan pilpres mendapat hadiah dari rezim Jokowi dengan memasukkan proyek korporasinya menjadi PSN. Dan tentu ini akan makin memudahkan korporasi dalam mengakumulasi modal dengan berbagai kemudahan yang didapat melalui status sebagai PSN.
Dengan PSN ini, korporasi membangun berbagai koloni dengan nama PIK dan BSD, yang sudah dimulai sebelumnya dengan koloni eksklusif kalangan tertentu.
Dalam konteks geostrategi dan geopolitik, koloni yang dibangun secara ekslusif tersebut, apalagi langsung terhubung dengan akses ke Laut Natuna Utara (LNU), dimana LNU saat ini tengah dalam proses aneksasi oleh Republik Rakyat China, maka koloni di pantai utara jawa, khususnya dalam kawan PIK yg di-PSN-kan, akan memberikan akses dan kemudahan dalam proses kolonialisasi wilayah Republik Indonesia tanpa letupan peluru.
Kenapa tanpa letupan peluru, karena kawasan tersebut sudah diamankan untuk kemudahan kolonisasi justru oleh institusi yang seharusnya melakukan kontra skema terhadap ATHG state actor dan non state actor.
Dan lihatlah fasilitas di dalam kawasan PIK, sudah merupakan negara dalam negara. Bahkan dengan fasilitas lengkap kondisi darurat perang dan sebagai safe house serta dipersiapkan sebagai kawasan pengungsian bagi kelompok tertentu.
Koloni yang semula terlihat nampak hanya sekedar tempat tinggal ekslusif, ternyata kemudian, sejarah mencatat sebagai kolonialisasi dan kolonialisme yang mencengkram bangsa ini ratusan tahun.
SAID DIDU DAN KRIMINALISASI
Dulu si Pitung, dan semua pahlawan nasional, dicap dan difitnah oleh pemerintah kolonial belanda, sebagai pengacau keamanan, perampok, pemecah belah negara, ekstrimis dan label negatif lainnya.
Begitulah cara kerja kekuasaan dalam mereproduksi kekuasaannya agar tetap bertahan.
Pemerintah kolonial hindia belanda saat itu membentuk opas dan marsose, yang isinya sebagian besar adalah inlaander ireng yang mengabdi kepada state corporate crime pemerintah kolonial hindia belanda.
Londo londo ireng yang rusak mental dan spiritual ini, dijadikan oleh kolonial hindia belanda sebagai anjing penjaga keberlangsungan korporasi bisnis berbagai perusahaan belanda yang beroperasi di wilayah koloni.
Bila kita lihat, sejarah diatas, maka dalam kasus Said Didu, pelapor yang melaporkan dan petugas yang memproses Said Didu warna kulit, agama, adalah berasal dari rumpun yang sama yaitu kaum bumiputra, yang dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia, menyatakan diri sebagai bangsa yang merdeka.
Cobalah renungkan, adakah dari korporasi yang membuat koloni di pantai utara jawa banten itu adalah pihak yang ikut serta dalam proklamasi ?
Bumiputra yang menyatakan proklamasi itu adalah kaum yang sebelumnya dijajah, dijadikan jongos, dipersamakan dengan anjing (Verboden Voor Honden en Inlander), warga negara kelas tiga, [dibawah kelas satu (ras eropah) dan kelas dua (ras timur asing)].
Kaum kelas tiga yang sebelumnya dijadikan jongos inilah yang menyatakan kemerdekaan, bukan kaum kelas satu dan dua, yang saat ini membangun kembali koloni.
Artinya, tidak boleh ada lagi, kaum bumiputra yang sebelumnya dijajah, kembali dijadikan jongos oleh pemilik koloni dan pemilik proyek privat.
Jadi pihak pihak yang melaporkan dan memproses seorang Said Didu, yang dalam hal ini, berusahan membela saudaranya sebangsa setanah air, tidak bisa dikriminalisasi semau maunya oleh suruhan korporasi koloni, sebagaimana dulu si Pitung dan para pahlawan nasional yang melawan penjajah kolonial hindia belanda.
Haruslah dihentikan cara-cara penjajah kolonial belanda yang memperalat pribumi lainnya untuk menindas saudara pribumi lainnya.
Maka hentikan kriminalisasi terhadap Said Didu.
Hentikan kolonisasi di PSN PIK.
Hentikan kolonialisme politik.
Cegah Nekolim oleh RRC dan negara lainnya.
Bangkitlah rakyat pribumi merebut kembali tanah tanah yang dirampas state corporate crime.
Hasbunallah wa nikmal wakiil…
Dirangkum oleh : Munarman
Jakarta, 17 Nov 2024