MoneyTalk, Jakarta – Polemik mencuat di jantung ibu kota, tepatnya di Jalan Kramat Raya No. 65 A, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat, ketika Lembaga Pembela Hukum (LPH) Grib Jaya sebagai pengacara dari Nuke Nikijuluw mempersoalkan kepemilikan lahan Masjid KH Abdurrahman Wahid, yang secara resmi tercatat sebagai milik Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor).
Koordinator Pemuda Aswaja, Nur Khalim, menyampaikan pernyataan tegas yang mengundang perhatian publik, terutama kalangan Nahdliyyin. Ia mengatakan bahwa langkah LPH Grib Jaya tidak hanya menimbulkan kegaduhan hukum, tetapi juga menyentuh sensitivitas historis dan kultural warga Nahdlatul Ulama (NU) di seluruh Indonesia.
“LPH Grib Jaya harus sadar, mereka bukan hanya berhadapan dengan GP Ansor secara organisasi. Mereka sedang berhadapan dengan barisan warga NU di seluruh Indonesia yang sangat menghormati warisan spiritual dan simbol perjuangan tokoh kami, KH Abdurrahman Wahid,” kata Nur Khalim dalam pernyataan resminya, Senin (5/5).
Masjid yang dibangun di atas lahan tersebut telah lama menjadi simbol persatuan dan aktivitas keagamaan warga Nahdliyyin di Jakarta, khususnya mereka yang terafiliasi dengan GP Ansor dan Banser. Penamaan masjid dengan nama Presiden Keempat RI dan tokoh besar NU, KH Abdurrahman Wahid, bukan sekadar simbolik, tetapi mengandung nilai sejarah dan identitas yang kuat bagi komunitasnya.
Nur Khalim menjelaskan bahwa lahan tersebut telah mengantongi sertifikat kepemilikan resmi atas nama GP Ansor. “Tidak pernah ada sengketa sebelumnya, dan keberadaan masjid itu sangat terbuka serta dimanfaatkan oleh masyarakat umum. Lantas, atas dasar apa LPH Grib Jaya mencoba menggugat atau mempertanyakan status lahan ini?” ujarnya.
Ia menilai langkah LPH Grib Jaya sebagai bentuk arogansi kekuasaan yang berusaha mengintervensi hak milik organisasi sah. Terlebih, isu kedekatan institusi tersebut dengan lingkaran kekuasaan menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya penyalahgunaan pengaruh.
“Kalau benar LPH Grib Jaya memanfaatkan kedekatan dengan otoritas politik atau aparat tertentu untuk menekan GP Ansor, maka ini jelas bentuk intimidasi terhadap organisasi pemuda Islam terbesar di negeri ini,” tambah Nur Khalim.
Masjid ini tidak sekadar tempat ibadah. Ia berdiri sebagai saksi hidup dari aktivitas sosial, dialog lintas iman, dan gerakan moderasi Islam yang diperjuangkan Gus Dur semasa hidupnya. Banyak kegiatan keagamaan, pelatihan kader, dan layanan sosial seperti pembagian sembako serta pengajian rutin digelar di lokasi tersebut.
GP Ansor menyatakan bahwa segala dokumen legal sudah lengkap, mulai dari akta kepemilikan hingga sertifikat hak atas tanah yang terdaftar di Badan Pertanahan Nasional (BPN).
“Masjid KH Abdurrahman Wahid bukan sekadar bangunan. Ia adalah simbol dari wajah Islam moderat yang diperjuangkan Nahdlatul Ulama. Siapa pun yang mencoba merongrong eksistensinya, secara sadar atau tidak, sedang menggoyang fondasi pluralisme dan keislaman yang inklusif di negeri ini,” ucap Nur Khalim.