Gadai SK Berjamaah Marak di Kalangan Anggota Dewan

0

MoneyTalk, Jakarta – Dalam program ‘Kabar Petang’ yang tayang di TV One pada Jumat (06/09), fenomena “Gadai SK Berjamaah” di kalangan anggota DPRD kembali menjadi sorotan publik. Sejumlah anggota DPRD dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk DPRD Kota Serang yang baru dilantik, ramai-ramai menggadaikan Surat Keputusan (SK) pelantikan mereka untuk memperoleh pinjaman dari lembaga perbankan. SK tersebut dijadikan agunan untuk mengajukan pinjaman dengan nilai mulai dari Rp500 juta hingga Rp1 miliar. Fenomena ini mencerminkan tingginya biaya politik yang harus ditanggung oleh para anggota dewan, sebagaimana pernah diungkapkan oleh Ketua DPR RI, Puan Maharani, bahwa “biaya politik itu mahal.”

Sekretaris DPRD Kota Serang menegaskan bahwa penggadaian SK adalah hak setiap anggota dewan yang terpilih, dan tidak ada aturan yang dilanggar dalam tindakan tersebut. Namun, peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Zainurrahman, yang hadir sebagai narasumber dalam acara tersebut, mengungkapkan bahwa meskipun tidak ada regulasi yang dilanggar, fenomena ini mengindikasikan adanya kebutuhan finansial yang mendesak di kalangan anggota DPRD terpilih.

“Ya, kalau aturan sepertinya tidak ada yang dilanggar ya. Kenapa? Karena masing-masing anggota DPRD itu punya hak untuk mengelola pendapatan mereka sendiri,” kata Zainurrahman. “Tetapi, perhatian bagi publik saya adalah, sampai anggota DPRD ini begitu dilantik harus menggadaikan SK, berarti di sini ada suatu kebutuhan finansial yang dialami oleh banyak anggota DPRD terpilih,” lanjutnya.

Biaya politik yang tinggi seringkali memaksa para calon legislatif menggunakan modal pribadi atau bahkan berhutang untuk membiayai kampanye mereka. Kondisi ini bisa berdampak negatif pada integritas mereka sebagai wakil rakyat. Zainurrahman menjelaskan bahwa para anggota dewan yang terpilih dengan beban utang yang besar, kemungkinan besar akan lebih rentan terhadap tekanan dari berbagai pihak, termasuk penyedia barang dan jasa, kontraktor, atau bahkan pemerintah, yang dapat menawarkan keuntungan tertentu sebagai imbalan atas keputusan politik yang menguntungkan.

“Ini juga bisa berpengaruh terhadap norma maupun mereka ketika misalnya menghadapi berbagai tawaran tantangan khususnya terkait dengan kemampuan yang tidak sah,” tambah Zainurrahman.

Untuk mengatasi mahalnya biaya politik dan mencegah praktik-praktik seperti gadai SK, Zainurrahman menyarankan evaluasi sistem pemilu dan sistem kepartaian. Dia menyoroti pentingnya demokratisasi internal partai politik untuk mengurangi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Salah satu opsi yang dapat dipertimbangkan adalah sistem proporsional tertutup, di mana partai yang menentukan siapa yang duduk di kursi legislatif berdasarkan urutan calon yang mereka ajukan, sehingga calon legislatif tidak perlu bersaing ketat dan mengeluarkan biaya besar dalam kampanye.

Pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Devi Rahmawati, yang juga hadir dalam acara tersebut, menambahkan bahwa selain perubahan sistem politik, perlu ada pendidikan politik yang lebih baik bagi masyarakat agar tidak mudah terpengaruh oleh praktik-praktik politik uang atau *money politics*. “Masyarakat itu juga harus terus-menerus di edukasi untuk punya kesadaran politik bahwa pemilu adalah sarana untuk menempatkan wakilnya, bukan untuk mencari uang dari wakil-wakilnya,” ujar Devi.

Menjelang Pemilu 2024, perdebatan mengenai sistem pemilu yang ideal terus berkembang. Sementara itu, fenomena penggadaian SK ini menjadi refleksi dari masalah sistemik dalam politik Indonesia, di mana biaya yang harus dikeluarkan tidak seimbang dengan pendapatan sah anggota dewan. Hal ini menunjukkan perlunya reformasi politik yang lebih komprehensif untuk memastikan bahwa proses demokrasi berjalan sesuai dengan nilai-nilai integritas dan akuntabilitas.(c@kra)

Leave A Reply

Your email address will not be published.