Fahri Sebut Mahfud Layak Diadili
MoneyTalk, Jakarta – Pernyataan kontroversial datang dari Fahri Hamzah, Wakil Ketua Umum Partai Gelora, dalam wawancara di Forum Keadilan TV pada Sabtu, 14 September. Fahri menyatakan bahwa Mahfud MD, mantan Menko Polhukam, pantas diadili karena berbagai tindakannya yang dianggap merugikan stabilitas politik dan demokrasi di Indonesia. Menurut Fahri, Mahfud terlibat dalam beberapa keputusan dan pernyataan yang kontroversial, yang tidak sejalan dengan semangat demokrasi dan rekonsiliasi bangsa.
Fahri menyoroti perjalanan politik Mahfud, khususnya sejak ia menjadi Menko Polhukam. Menurut Fahri, Mahfud sebenarnya diberi kesempatan besar oleh Presiden Jokowi untuk membenahi sektor politik, hukum, keamanan, dan hak asasi manusia. Namun, selama menjabat, Mahfud gagal menunaikan tugasnya dengan baik. Dalam pandangan Fahri, Mahfud tidak sepenuhnya memahami dinamika politik yang lebih luas dan seringkali terjebak dalam pandangan partisan yang memperkeruh suasana politik nasional.
Keputusan yang Dipertanyakan
Fahri juga mengkritik sikap Mahfud yang kerap kali melontarkan pernyataan kontroversial dan seakan menyudutkan pemerintah. Sebagai seorang guru besar dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud dianggap tidak konsisten dalam memegang prinsip hukum dan keadilan. Menurut Fahri, keputusan-keputusan Mahfud lebih didasarkan pada agenda politik tertentu daripada murni demi kepentingan bangsa.
Pernyataan Mahfud tentang mengadili Presiden Jokowi, misalnya, menjadi salah satu sorotan utama Fahri. Ia menilai bahwa ucapan Mahfud tersebut seolah-olah mengabaikan fakta bahwa Mahfud sendiri adalah bagian integral dari pemerintahan Jokowi selama beberapa tahun terakhir. “Mengadili Presiden seolah-olah tidak menyadari bahwa dirinya juga bagian dari pemerintahan ini,” tegas Fahri. Ia menilai bahwa ucapan tersebut lebih menyerupai aksi balas dendam pribadi daripada kritik konstruktif.
Hubungan dengan Pemimpin Lain
Fahri juga menggambarkan bahwa Mahfud mungkin belum sepenuhnya memahami realitas politik di Indonesia, terutama mengenai hubungan antar partai dan elite politik. Dalam pandangan Fahri, Mahfud seharusnya mengingat bahwa penolakannya sebagai calon wakil presiden pada 2019 bukanlah keputusan Presiden Jokowi secara pribadi, melainkan keputusan dari partai-partai pendukung. Namun, Mahfud tampaknya masih menyimpan kekecewaan yang mendalam atas kejadian tersebut, yang mungkin memengaruhi sikap dan tindakannya selama ini.
Apa Agenda Politik Mahfud
Fahri mencurigai bahwa Mahfud memiliki agenda politik tersembunyi yang bertentangan dengan semangat rekonsiliasi yang sedang dibangun oleh elite politik saat ini. Fahri mengajak publik untuk berhati-hati dalam menerima setiap pernyataan Mahfud, karena menurutnya, pernyataan-pernyataan tersebut sering kali hanya menjadi alat untuk memprovokasi ketidakstabilan politik.
Menurut Fahri, bangsa ini membutuhkan stabilitas dan rekonsiliasi untuk menghadapi tantangan masa depan, terutama dengan adanya transisi kepemimpinan setelah Pilpres 2024. “Kita harus fokus pada persatuan dan rekonsiliasi, bukan membiarkan pertarungan politik menjadi ajang emosi pribadi,” ujar Fahri.
Fahri menutup dengan harapan agar Mahfud kembali ke jalur yang lebih netral dan berfokus pada peran sebagai negarawan. Ia mengajak Mahfud untuk lebih objektif dan tidak membawa agenda pribadi dalam setiap langkah politiknya.(c@kra)