Sritex Tercekik Hutang, dari Raja Tekstil Hingga Masa Suram

0

MoneyTalk, Jakarta – PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), salah satu perusahaan tekstil terintegrasi terbesar di Asia Tenggara, kini berada dalam krisis finansial yang mendalam. Dengan sejarah lebih dari 50 tahun, perusahaan yang pernah berjaya di era Orde Baru ini kini terhimpit utang yang semakin menggunung.

Pada laporan keuangan terakhir per 31 Maret 2024, Sritex mencatatkan utang sebesar USD 31,67 juta, meningkat dari USD 22,97 juta pada akhir 2023. Perusahaan juga mengalami kenaikan utang yang jatuh tempo dalam 30 hingga 180 hari, serta mengalami kesulitan kas hingga meminta relaksasi terhadap pembayaran pokok dan bunga dari surat utang jangka pendek (MTN).

Masalah yang menjerat Sritex tidak hanya berhenti pada angka utang yang terus naik. Perusahaan terpaksa melakukan restrukturisasi besar-besaran, termasuk Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap ribuan karyawan. Pada akhir 2023, Sritex telah memangkas 2.232 karyawan sebagai bagian dari upaya efisiensi di tengah badai utang.

Sejarah panjang Sritex berawal dari pendirinya, Haji Muhammad Lukminto, yang memulai usaha kecil di Solo pada 1966 dengan nama UD Sri Redjeki. Berkat kedekatannya dengan pemerintah di era Soeharto, Sritex berkembang pesat dengan memenangkan berbagai tender pengadaan seragam untuk Korpri, Golkar, dan ABRI. Dukungan pemerintah di era Orde Baru memungkinkan perusahaan tumbuh menjadi raksasa di industri tekstil, baik di pasar domestik maupun internasional.

Namun, kejayaan masa lalu kini berbalik. Dengan utang jangka panjang yang mencapai USD 1,49 miliar, Sritex harus berhadapan dengan para kreditur besar, seperti Citigroup, DBS, HSBC, dan Shanghai Bank. Perusahaan ini juga masih berjuang dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sembari mengupayakan restrukturisasi untuk menjaga kelangsungan bisnis.

Meskipun kondisi keuangan perusahaan berada di ambang kehancuran, manajemen Sritex menegaskan bahwa mereka masih didukung oleh pemegang saham yang siap memberikan dukungan finansial. Namun, ketidakpastian akan kemampuan perusahaan untuk bertahan tetap menjadi tantangan besar di masa depan. Sritex kini harus berfokus pada peningkatan penjualan dan efisiensi produksi untuk keluar dari krisis yang membelitnya.

Perjalanan Sritex dari raja tekstil menjadi perusahaan yang tercekik utang menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya manajemen risiko yang baik dalam menghadapi tantangan ekonomi global dan tekanan pasar. Apa yang dulu menjadi kebanggaan nasional kini tengah berjuang keras untuk bertahan di tengah situasi yang tidak menentu.(c@kra)

Leave A Reply

Your email address will not be published.