120 Negara Siap Dedolarisasi, Pertanda Buruk bagi Dolar Amerika
MoneyTalk, Jakarta – Dedolarisasi menjadi topik hangat dalam diskusi ekonomi global saat ini. Mardigu Wowiek Salam, melalui kanal YouTube-nya “Bossman Mardigu,” menyoroti pergerakan 120 negara yang siap meninggalkan dolar Amerika Serikat sebagai mata uang utama dalam perdagangan internasional. Dalam tayangannya pada Kamis (26/09), Mardigu menyampaikan bahwa tren ini bukan hanya isu spekulatif, tetapi sebuah pergeseran nyata yang memiliki dampak besar terhadap posisi dominan dolar di panggung global.
Dedolarisasi adalah proses di mana negara-negara mengurangi atau menghentikan penggunaan dolar AS dalam transaksi perdagangan internasional mereka. Selama beberapa dekade, dolar telah menjadi mata uang dominan dalam ekonomi global, baik dalam perdagangan energi, seperti minyak, maupun barang-barang lain yang menjadi bagian integral dari perdagangan lintas negara. Namun, perubahan geopolitik, ekonomi, dan kebijakan moneter global telah mendorong banyak negara untuk mencari alternatif dari ketergantungan pada dolar.
Mardigu menyoroti beberapa alasan utama mengapa banyak negara mulai mengalihkan pandangan dari dolar. Salah satunya adalah dominasi Amerika dalam penggunaan dolar sebagai alat politik. Sanksi ekonomi yang diberlakukan terhadap negara-negara tertentu sering kali disertai dengan pemblokiran akses mereka ke sistem keuangan global, yang umumnya diatur oleh dolar. Negara-negara seperti Rusia, China, dan negara-negara berkembang lainnya melihat hal ini sebagai ancaman terhadap kedaulatan mereka.
Menurut Mardigu, ada sekitar 120 negara yang secara aktif mengeksplorasi alternatif untuk mengurangi ketergantungan mereka pada dolar. Negara-negara ini berasal dari berbagai kawasan, termasuk Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Di antara mereka, kekuatan ekonomi besar seperti China dan Rusia telah mempelopori inisiatif ini, membangun jalur perdagangan alternatif dengan menggunakan mata uang lokal atau mata uang lain seperti yuan, rubel, dan bahkan emas.
China, sebagai kekuatan ekonomi global, telah memperluas pengaruhnya melalui Belt and Road Initiative (BRI), yang memfasilitasi kerja sama perdagangan dengan negara-negara berkembang dan menurunkan penggunaan dolar dalam transaksi bilateral. Rusia, di sisi lain, terus memperkuat hubungannya dengan negara-negara BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) dalam rangka menciptakan sistem pembayaran lintas negara yang independen dari dolar.
Salah satu aktor kunci dalam dedolarisasi adalah blok BRICS. Negara-negara ini tidak hanya mewakili populasi yang besar tetapi juga pertumbuhan ekonomi yang pesat. Mereka mulai membahas potensi penggunaan mata uang bersama atau settlement dalam mata uang lokal di antara anggota mereka. BRICS bahkan telah meluncurkan New Development Bank sebagai alternatif dari institusi keuangan global yang didominasi oleh Barat, seperti IMF dan Bank Dunia.
Dedolarisasi menjadi perhatian utama dalam setiap pertemuan BRICS, di mana mereka menyadari bahwa dominasi dolar memperlambat potensi pertumbuhan ekonomi mereka dan membuat mereka rentan terhadap kebijakan ekonomi Amerika yang tidak selalu sejalan dengan kepentingan mereka.
Jika 120 negara benar-benar sukses dalam mengurangi ketergantungan mereka pada dolar, ini akan memiliki dampak signifikan terhadap ekonomi Amerika Serikat. Salah satu yang terbesar adalah pengaruhnya terhadap nilai tukar dolar. Selama ini, permintaan global untuk dolar membantu menjaga nilai tukar mata uang ini tetap kuat. Jika semakin banyak negara beralih ke alternatif lain, permintaan terhadap dolar akan menurun, yang bisa menyebabkan depresiasi nilainya.
Lebih jauh lagi, status dolar sebagai mata uang cadangan global juga dapat terancam. Saat ini, bank sentral di seluruh dunia menyimpan cadangan devisa dalam bentuk dolar untuk melindungi diri dari fluktuasi pasar. Namun, jika dolar mulai kehilangan posisinya sebagai mata uang cadangan, akan lebih sedikit negara yang memilih untuk menyimpan dolar dalam jumlah besar. Ini akan melemahkan posisi keuangan Amerika di panggung internasional.
Meskipun dorongan untuk dedolarisasi semakin menguat, ada tantangan signifikan yang harus dihadapi negara-negara yang mencoba mengimplementasikannya. Salah satu tantangan utama adalah infrastruktur keuangan global yang masih sangat bergantung pada dolar. Banyak transaksi internasional, termasuk perdagangan komoditas, masih dilakukan dalam dolar, dan mengubah sistem ini memerlukan kerja sama internasional yang luas serta waktu yang tidak singkat.
Selain itu, ada juga risiko bagi negara-negara yang memutuskan untuk meninggalkan dolar. Mereka mungkin mengalami ketidakstabilan ekonomi sementara, karena pasar global masih sangat terikat dengan nilai dolar. Penurunan tajam dalam nilai cadangan dolar mereka dapat menimbulkan dampak jangka pendek yang negatif.
Mardigu menggarisbawahi bahwa dedolarisasi adalah proses yang sedang berlangsung dan belum ada jaminan bahwa langkah ini akan sepenuhnya berhasil dalam jangka pendek. Namun, dengan semakin banyak negara yang mulai mengadopsi strategi ini, pergeseran nyata tampaknya sedang terjadi. Negara-negara yang selama ini berada di bawah bayang-bayang dominasi dolar sekarang mulai menyadari bahwa mereka memiliki pilihan lain yang dapat mereka gunakan untuk melindungi kepentingan ekonomi mereka.
Pertanyaan yang tersisa adalah apakah Amerika Serikat akan merespon ancaman ini dengan reformasi kebijakan yang lebih inklusif, atau justru menggandakan pendekatan unilateral mereka. Bagaimanapun juga, dedolarisasi merupakan tantangan besar bagi hegemoni ekonomi Amerika dan dunia harus bersiap menghadapi kemungkinan perubahan besar dalam sistem keuangan global.(c@kra)