Eksport Kelapa Tanpa Hilirisasi, Tantangan Industri dan Potensi Hilangnya Nilai Tambah
MoneyTalk, Jakarta – Ekspor kelapa tanpa melalui proses hilirisasi di dalam negeri semakin menjadi sorotan publik. Kelapa yang dikirim langsung ke luar negeri diketahui semakin meningkat jumlahnya. Menurut Amrizal Idroes, Wakil Ketua Umum Himpunan Industri Pengolahan Kelapa Indonesia (HIPKI), ada sekitar 230 miliar butir kelapa atau setara dengan 46 ribu ton kelapa yang diekspor langsung ke China dan Thailand. Pengiriman tersebut tanpa proses pengolahan lebih lanjut di dalam negeri. Hal ini berpotensi merugikan industri pengolahan kelapa di Indonesia dan menciptakan kompetitor kuat di luar negeri yang memanfaatkan kelapa mentah untuk hilirisasi di negara mereka.
Salah satu kekhawatiran terbesar dari ekspor kelapa mentah adalah hilangnya bahan baku untuk industri lokal. Dengan ekspor besar-besaran ke luar negeri, Indonesia berisiko mengalami kekurangan bahan baku yang sangat dibutuhkan untuk sektor pengolahan kelapa dalam negeri. Kelapa yang seharusnya dapat diolah menjadi produk dengan nilai tambah lebih tinggi seperti minyak kelapa, santan, atau produk turunan lainnya, malah diekspor dalam kondisi mentah.
“Kelapa itu tidak hanya dimanfaatkan oleh industri, tapi juga dijual langsung ke luar negeri. Jadi kita ada loss bahan baku di situ. Ini ada semacam kebaikan hati bagi bangsa ini untuk membantu industri-industri di luar negeri seperti China dan Thailand. Itu jumlahnya cukup besar dan cenderung meningkat setiap tahunnya,” kata Amrizal dalam acara Peluncuran Peta Jalan Hilirisasi Kelapa di Kantor Bappenas, Jakarta, Senin (30/9/2024).
“Jumlah ekspor (bahan baku kelapa) tahun lalu sekitar 46 ribu ton, atau sekitar 230 miliar butir kelapa kita yang didonasikan ke negara-negara yang tertarik untuk men-downstream. Jadi kita menciptakan kompetitor kita sendiri di negara-negara lain,” sambungnya.
Amrizal bahkan menggambarkan ekspor kelapa mentah ini sebagai “aksi donasi” Indonesia ke negara lain. Negara-negara seperti China dan Thailand mendapatkan kelapa Indonesia dalam jumlah besar dan kemudian melakukan hilirisasi di negara mereka, menciptakan produk-produk turunan yang bernilai tinggi. Situasi ini sangat disayangkan karena Indonesia, sebagai produsen kelapa terbesar kelima di dunia, justru tidak memanfaatkan sepenuhnya potensi hilirisasi yang dimiliki.
Pada tahun 2023, produksi kelapa nasional diperkirakan mencapai 15,13 miliar butir, menjadikan Indonesia sebagai salah satu produsen kelapa terbesar di dunia. Sekitar 60% dari produksi kelapa nasional, atau sekitar 9,1 miliar butir, telah dimanfaatkan oleh industri dalam negeri, dengan sebagian besar dikonversi menjadi kopra, bahan baku utama untuk minyak kelapa. Kopra sendiri merupakan produk yang memiliki pasar ekspor yang signifikan, terutama ke negara-negara seperti Bangladesh, India, dan Pakistan.
Namun, ekspor bahan baku seperti kopra hanya menghasilkan pendapatan yang relatif kecil jika dibandingkan dengan potensi yang bisa dihasilkan melalui produk olahan lainnya. Ekspor kopra dari Indonesia pada tahun lalu hanya mencapai sekitar US$33 ribu, jumlah yang sangat kecil mengingat potensi nilai tambah yang dapat dihasilkan dari hilirisasi kelapa di dalam negeri.
Hilirisasi merupakan kunci untuk meningkatkan nilai tambah produk kelapa dan memperkuat daya saing industri kelapa dalam negeri. Saat ini, sebagian besar kelapa yang diolah di Indonesia dikonversi menjadi produk dasar seperti kopra, santan, dan kelapa parut. Padahal, ada banyak produk turunan kelapa lainnya yang memiliki nilai jual lebih tinggi, seperti minyak kelapa murni (VCO), arang batok kelapa, dan produk kosmetik berbahan dasar kelapa.
Proses hilirisasi tidak hanya meningkatkan nilai tambah kelapa, tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan pendapatan bagi petani kelapa, dan memperkuat posisi Indonesia di pasar global sebagai produsen produk kelapa olahan. Oleh karena itu, pemerintah dan pelaku industri perlu bekerja sama untuk mendorong hilirisasi kelapa di dalam negeri, baik melalui insentif bagi industri pengolahan kelapa, pembangunan infrastruktur, maupun pelatihan bagi petani dan pengusaha kecil.
Selain itu, perlu ada regulasi yang lebih tegas terkait ekspor kelapa mentah. Pemerintah bisa mempertimbangkan untuk membatasi atau mengenakan tarif yang lebih tinggi pada ekspor kelapa mentah, sambil mendorong hilirisasi di dalam negeri. Hal ini akan memastikan bahwa industri dalam negeri memiliki akses yang cukup terhadap bahan baku dan dapat berkembang lebih jauh.
Ekspor kelapa tanpa hilirisasi merupakan masalah serius yang harus segera diatasi oleh pemerintah dan industri kelapa nasional. Hilangnya bahan baku bagi industri dalam negeri dan penciptaan kompetitor di luar negeri menunjukkan bahwa pendekatan yang lebih strategis terhadap pengelolaan produksi kelapa sangat dibutuhkan.
Dengan fokus pada hilirisasi, Indonesia dapat mengoptimalkan potensi kelapa sebagai salah satu komoditas andalan, menciptakan nilai tambah yang lebih tinggi, serta memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar bagi negara dan masyarakat. Kini saatnya bagi Indonesia untuk tidak hanya menjadi pengekspor bahan baku, tetapi juga pemain utama dalam industri produk olahan kelapa di tingkat global.(c@kra)