Kritik Terhadap Tatakelola Banjir Jakarta

  • Bagikan

MoneyTalk,Jakarta – Amanat mukadimah UUD 1945 dialinea keempat menyebutkan bahwa negara lindungi segenap tanah air dan tumpah darah Indonesia. Maka Pemerintah berkewajiban beri perlindungan terhadap masyarakat. Salah satunya, perlindungan dari bencana banjir sebagai pelaksanaan mandat itu.

Bencana banjir yang landa Jakarta dan kota lain di Indonesia adalah bencana yang sulit dihindari. Sebaiknya tidak lagi dilihat semata dari aspek penyebab, tetapi lebih pada segi dampaknya. Sehingga manusia dapat menyiasati dan hidup berdampingan dengan risiko yang diakibatkan.

Di beberapa tempat terjadi siklus banjir pada periode tertentu, misal lima tahunan, sepuluh tahunan, dan sebagainya. Saat ini walau tidak keseluruhan, kondisi yang dialami kota Jakarta sudah layak disebut area siklus banjir.

Banjir itu peristiwa daratan yang biasanya kering jadi tergenang karena volume air meningkat atau curah hujan tinggi, air pasang laut, lelehan salju, atau masalah lain. Itu mengakibatkan air tidak dapat diserap dengan cepat oleh tanah atau dialirkan oleh saluran. Keseluruhan hal itu terjadinya secara tiba-tiba atau secara bertahap.

Untuk kota Jakarta, sepertinya penyebab dominan yang berulang adalah curah hujan tinggi dan pasang laut serta volume air meningkat akibat banjir di wilayah Jawa Barat.

Jenis banjir yang dikenali umum, BMKG, BNPB, ahli dan perundang-undangan adalah banjir Fluvial, biasa disebut sebagai banjir Sungai atau banjir Limpasan. Itu terjadi ketika debit sungai meluap melewati batas normalnya. Biasanya disebabkan curah hujan yang tinggi di daerah hulu sungai. Ini penyebab bencana banjir yang umum terjadi.

Lalu ada banjir Pluvial atau banjir Bandang, yang terjadi dengan sangat kuat dan tiba-tiba serta sangat cepat disertai volume air yang besar. Ini sering disertai longsor yang sebabkan kerusakan di jalur alirannya. Banjir Bandang mengangkut air dan juga lumpur sehingga sangat berbahaya. Banjir ini sering terjadi di daerah pegunungan atau perbukitan. Sejenis dengan banjir Bandang adalah banjir Lumpur atau banjir Lahar yang keluar dari dalam bumi seperti gunung berapi lalu terbawa air mengenangi daratan. Lumpur atau lahar itu mengandung bahan gas berbahaya.

Kemudian banjir Pesisir, sering disebut banjir Badai atau Luapan Laut/Rob atau banjir Pasang Surut, dikarenakan naik atau turun permukaan laut atau pasang tinggi akibat badai, gelombang pasang, atau bisa karena rusaknya ekosistem pesisir. Di kota Jakarta biasa banjir Rob melanda Muara Baru. Air pasang laut tersebut menahan laju air sungai sehingga menjebol tanggul lalu meluap menggenangi daratan. Banjir jenis ini biasanya terjadi di daerah delta atau muara sungai.

Ada juga banjir Genangan, yang terjadi ketika air menggenangi daratan rendah akibat akumulasi air hujan yang tidak bisa masuk ke sungai sehingga menggenangi dataran rendah atau cekungan yang biasanya tidak terendam air. Jenis banjir ini terjadi di daerah perkotaan ketika sisitim drainase tidak mampu tampung aliran air hujan. Itu sering terjadi akibat tersumbat atau saluran tidak memadai.

Yang lain sembari menunggu jenis lainnya adalah banjir Cileunang. Ini hampir mirip dengan banjir Genangan, namun banjir tersebut terjadi akibat derasnya hujan sehingga debit air meningkat dan tidak terbendung. Jika intensitas hujan berlebih biasanya air meluap.

Setiap jenis banjir tersebut diperkirakan terjadi dengan cara yang berbeda.

Penanggulangan bencana banjir adalah proses tidak terpisahkan antara sebelum, saat dan setelah terjadi bencana banjir sesuai pasal 5 UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Minimalisasi risiko bencana banjir harus dipadukan dengan aspek-aspek keseharian kehidupan masyarakat termasuk dalam keadaan tidak ada bencana.

Tatakelola bencana banjir berupa pencegahan dan mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat dan paska darurat selurunya merujuk kepada Undang-Undang nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana; juga pada Peraturan Pemerintah (PP) nomor 38 tahun 2011 tentang Sungai; PP nomor 42 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air; PP nomor 22 tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana; maupun PP nomor 21 tahun 2008, tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.

Dengan demikian kita menjadi tahu bahwa bencana banjir sesungguhnya bisa dimitigasi seperti disebut pada pasal 1 ayat 6 PP nomor 21 tahun 2008 yakni dengan upaya kurangi risiko bencana melalui pembangunan fisik dan penyadaran peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Ada tiga upaya antisipasi yang bisa dilakukan, yakni sebelum, saat, dan pasca bencana banjir. Upaya yang terbaik adalah tatakelola sebelum bencana banjir karena dapat menghindarkan efek bencana.

Langkah antisipasi itu sangat mendesak dilakukan supaya bencana banjir terminimalisir atau malah bisa dihindarkan. Hal tersebut bisa dilakukan dengan model peringatan dini sehingga evakuasi bisa aman; bangun tanggul, saluran air, dan lainnya untuk kendalikan banjir; mengedukasi masyarakat terkait tindakan keselamatan selama banjir dan peran mereka; serta pemantauan cuaca yang tepat guna membantu prediksi hujan.

Tatakelola bencana banjir yang baik tentu akan berdampak signifikan menghindarkan korban jiwa dan luka-luka serius; kerusakan rumah, bisnis, dan infrastruktur; kerugian ekonomi; kerusakan ekosistem sungai dan daerah pesisir; maupun krisis air bersih.

Anomali.Tatakelola Banjir

Belum lama BNPB saat bicara modifikasi cuaca untuk kawasan Sukabumi malah menggunakan terminologi jenis banjir yang sama sekali tidak memiliki landasan pemahaman umum apalagi keahlian. Saat itu BNPB sebut ada ungkapan banjir susulan yang lebih besar akan terjadi di sana. Mereka malah menambahkan bahwa BNPB akan menggelar operasi modifikasi cuaca, yakni bukan menghentikan hujan, tetapi mengurangi atau mengalihkan. Itu disampaikan pada Rapat Koordinasi Penanganan Bencana di Sukabumi, Jawa Barat, Jumat (6/12/2024).

Timbul beberapa pertanyaan, seperti pertama, apa itu definisi banjir susulan dalam kerangka bencana alam? Lalu apakah model lama untuk rekayasa cuaca untuk mengurangi potensi air hujan yakni menggunakan teknolagi yang dikenal selama ini yang akan digunakan yakni masih berbasis hanya sekedar menabur garam dalam hitungan ton?

Jika basis berfikir untuk hindarkan bencana yakni “banjir susulan” belum dipahami dan literaturnya belum mumpuni lalu apakah menjadi faktual untuk merekayasa potensi curah hujan menggunakan metode lama yang kerap digunakan selama ini? Bukankah tidak menjadi bumerang bagi konsep tatakelola bencana banjir jika hal itu diterapkan?

Idealnya, kinerja buruk seperti sedemikian dihindarkan agar tidak menjadi kontraproduktif terhadap seluruh pemangku kepentingan pada tatakelola bencana. Saran kami semua pemangku itu harus berfikiran dan berkinerja sesuai pemahaman yang berlaku bukan sekedar gaya-gayaan, supaya nanti tidak menjadi temuan pada pemeriksaan oleh auditor keuangan negara (AKN).

Saran kami, seluruh instansi yang memiliki kewenangan tetap konsisten mengkaji secara terus-menerus model tatakelola bencana banjir berbasis teknologi, bukan dengan hal-hal picisan yang tidak berdasar yang malah tetap menggunakan teknologi jadul.

Penulis :Iskandar Sitorus,Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *