Perekonomian Gelap, Solusinya Bukan Transisi Energi

  • Bagikan
PLN dari Alat Pembangunan Bangsa Menjadi Alat Komersial Oknum Pejabat?
PLN dari Alat Pembangunan Bangsa Menjadi Alat Komersial Oknum Pejabat?

MoneyTalk,Jakarta – Di tahun 2024, perekonomian Indonesia begitu gelap. Potensi SDM yang banyak dan terampil serta pasar yang besar tidak kelihatan. Pilar utama perekonomian yaitu keuangan dan energi disoroti. Ternyata ada banyak masalah di sektor keuangan tapi tidak di sektor energi.

PT PLN Indonesia Power sebagai perusahaan pembangkit listrik, sudah berhasil menerangi kegiatan ekonomi dan industri dengan potensi yang dimiliki Indonesia. Seperti batubara yang melimpah, sinar surya yang menyengat, angin yang menghembus, dan air bendungan yang terus mengalir.

Begitupun dengan Pertamina dan PGN (Perusahaan Gas Negara) juga tiada henti memberikan energi bagi kegiatan ekonomi dan industri. Walaupun kedua BUMN itu lebih menyukai membeli sumber energi dari luar, daripada mencari dan menggali dari perut bumi Indonesia yang kaya.

Untuk energi listrik, tidak ada masalah. Swasembada energi listrik sudah terjadi sejak tahun 2010. Memasuki tahun 2011, justru terjadi over suplai. Dan di tahun 2021, sekitar 25 persen energi listrik tidak terpakai. Kemubaziran itu terjadi hingga saat ini.

Sehingga ketika Presiden Prabowo mengatakan ingin swasembada energi. Untuk energi listrik, perkataan itu menjadi bahan tertawaan orang-orang yang banting tulang di sektor ketenagalistrikan. Prestasi yang sudah diraih sejak 2010, ingin diklaim Prabowo di tahun 2025. Sebaliknya untuk sektor energi minyak dan gas, ucapan Prabowo itu menaikkan bulu kuduk orang-orang di Pertamina dan PGN.

Jika Prabowo seorang negarawan, pemimpin panutan yang jujur, tentu secara spesifik menyebut ingin swasembada migas. Bukan secara umum menyebut swasembada energi. Penyebutan ingin swasembada energi hanya membuat Prabowo dicap sama seperti politisi pada umumnya yang menumpuk di DPR.

Dan lebih parah lagi, Prabowo justru mengutak-atik sektor ketenagalistrikan dengan rencana besarnya untuk melakukan transisi energi. Sedang di sektor migas, tidak memiliki rencana besar. (Nilai impor migas tahun 2023 berdasarkan data BPS mencapai USD 35,8 milyar atau hampir Rp 600 triliun).

Prabowo tidak melihat yang sedang terjadi di eropa barat terutama Jerman, bagaimana kebijakan transisi energi menjadi malapetaka. Karena menutup pembangkit listrik berbahan batubara dan nuklir, menggantinya dengan gas alam Rusia yang ramah lingkungan. Ketika perang Rusia-Ukraina terjadi, pasokan terhenti. Terjadi krisis energi.

Sangat beresiko mengubah sesuatu yang sudah baik. Apalagi menyangkut energi listrik untuk negara sebesar dan seluas Indonesia. Swasembada energi listrik sejak 2010 dan surplus sejak 2011, bukanlah sesuatu yang dapat dicapai dengan mudah. Butuh kerja keras berpuluh-puluh tahun, mengingat Indonesia lahir dalam kondisi negara miskin.

Prabowo sebaiknya melihat perekonomian yang terjadi di tahun 2024, bahwa ada 13 gerai Matahari tutup. 20 bank tutup. 30 pabrik tekstil tutup. 400 gerai Alfamart tutup. Ribuan kios di pusat-pusat perbelanjaan tutup, termasuk di Tanah Abang. Sepanjang jalan di Jabodetabek disesaki tulisan rumah dan ruko dijual. Jika permasalahan ini tidak bisa ditanggulangi, Prabowo akan ditinggalkan.

Penulis : Nirmal Ilham, Tenaga Ahli DPR RI

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *