Bagimana Nih Kemenkumham Punya Hak Merek, tapi Dikriminalisasi
MoneyTalk, Jakarta — Kasus sengketa hak merek kembali mencuat di Indonesia, kali ini melibatkan dua perusahaan yang memiliki merek terdaftar. Perseteruan antara merek “Kaso” dan “Kasomax” menjadi sorotan setelah pemilik merek “Kasomax” dikriminalisasi meskipun secara hukum sah memiliki hak merek.
Dalam diskusi yang diadakan di kanal YouTube Akbar Faisal Uncensored pada Minggu (22/09/2024), dua pakar hukum kekayaan intelektual, Dr. Tedi Anggoro dari Universitas Indonesia dan Nugraha Brat Kusuma, membahas secara mendalam sengketa ini.
Perusahaan pemilik merek “Kaso” mendaftarkan mereknya sekitar 14 tahun lalu dan telah beroperasi di pasar baja ringan Indonesia. Di sisi lain, pemilik “Kasomax” baru mendaftarkan mereknya pada 2020-an, dan merek tersebut juga diterima dan terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Meski kedua merek diakui secara hukum, pemilik “Kaso” menggugat “Kasomax” dengan alasan kesamaan yang dapat membingungkan konsumen. Akhirnya, pengadilan membatalkan pendaftaran merek “Kasomax” setelah gugatan tersebut.
Tidak hanya sampai di situ, pemilik “Kaso” melaporkan pemilik “Kasomax” ke kepolisian di Bengkulu dan Palembang. Meskipun salah satu kasus dihentikan (SP3) dan yang lain dibatalkan melalui praperadilan, pemilik “Kasomax” sempat ditetapkan sebagai tersangka, memunculkan pertanyaan terkait penerapan hukum kekayaan intelektual di Indonesia.
Menurut Nugraha Brat Kusuma, kasus ini mencerminkan kekeliruan dalam penegakan hukum. “Merek ‘Kaso’ adalah nama umum yang digunakan untuk menyebut jenis barang dalam industri konstruksi, khususnya baja ringan,” ungkapnya. Berdasarkan Undang-Undang Merek, penggunaan nama umum atau deskriptif untuk pendaftaran merek seharusnya tidak diperbolehkan.
Ia melanjutkan, “Mengapa merek ‘Kaso’ bisa terdaftar 14 tahun lalu? Mungkin saat itu, pemeriksaan oleh Kemenkumham belum seketat sekarang.”
Dr. Tedi Anggoro menekankan pentingnya daya pembeda dalam pendaftaran merek. “Merek adalah identitas yang harus memiliki daya pembeda pada produk atau jasa tertentu. Dan Proses pendaftaran seharusnya melalui pemeriksaan substantif untuk mencegah terdaftarnya merek yang bersifat deskriptif atau umum.”
Kedua pakar sepakat bahwa Kemenkumham, khususnya Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, seharusnya lebih aktif dalam menyelesaikan sengketa ini. Jika kedua belah pihak memiliki hak merek yang sah, penyelesaian damai seharusnya lebih diutamakan daripada tindakan pidana.
Nugraha menegaskan, Jika kedua pihak memiliki hak merek yang sah, tidak seharusnya ada kriminalisasi. Penyelesaian seharusnya dilakukan melalui jalur perdata atau mediasi, bukan pidana.
Kasus ini juga memunculkan kritik terhadap pihak kepolisian yang dinilai terlalu cepat memproses laporan pidana terkait sengketa merek.
Polisi seharusnya melakukan pemeriksaan lebih mendalam, termasuk meminta pendapat ahli dari Kemenkumham sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka dalam kasus kekayaan intelektual, kata Dr. Tedi.
Nugraha juga menyoroti kejanggalan terkait prosedur penyidikan. Mengungkapkan bahwa dalam beberapa kasus, tidak ada surat kuasa yang sah dari direksi perusahaan pelapor. Namun laporan tetap diproses hingga penetapan tersangka. Hal Ini menimbulkan pertanyaan terkait profesionalisme dan prosedur yang dijalankan oleh penyidik kepolisian
Selanjutnya Kasus ini berpotensi memberikan dampak negatif bagi dunia usaha di Indonesia. Pengusaha dapat merasa terancam jika hak merek yang telah sah diakui malah dipermasalahkan dan berujung pada kriminalisasi.
Ini bisa menjadi preseden buruk yang menghambat inovasi dan persaingan usaha yang sehat,”ujar Dr. Tedi.
Sengketa antara “Kaso” dan “Kasomax” menunjukkan perlunya perbaikan dalam sistem pendaftaran merek dan penegakan hukum kekayaan intelektual di Indonesia. Pemerintah dan aparat penegak hukum harus lebih cermat dan profesional dalam menangani kasus-kasus seperti ini untuk menciptakan kepastian hukum dan melindungi dunia usaha.
Pemerintah perlu melakukan evaluasi terhadap merek-merek yang telah terdaftar, terutama yang menggunakan nama umum atau deskriptif, guna mencegah sengketa serupa di masa depan. Di samping itu, pelaku usaha diimbau untuk memastikan bahwa merek yang mereka daftarkan memiliki daya pembeda dan tidak melanggar ketentuan hukum yang berlaku.
Aparat penegak hukum harus lebih berhati-hati dalam menangani laporan pidana terkait kekayaan intelektual dengan berkonsultasi terlebih dahulu kepada ahli dan instansi terkait.
Kasus ini memberikan pelajaran penting tentang pentingnya memahami dan menerapkan hukum kekayaan intelektual dengan benar. Harapannya, di masa mendatang, sengketa seperti ini dapat diselesaikan dengan lebih bijak dan adil demi kepastian hukum serta kemajuan dunia usaha di Indonesia.(c@kra)