MoneyTalk, Jakarta – Dalam episode terbaru podcast Terus Terang pada Jumat, 18 Oktober 2024, Mahfud MD mengungkapkan berbagai pandangan kritis mengenai situasi politik dan hukum di Indonesia. Ia menyoroti sejumlah isu krusial, mulai dari potensi konflik di Ibu Kota Negara (IKN), penggunaan hukum sebagai alat pembenaran, hingga perlunya penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mahfud juga menyampaikan harapannya terhadap Presiden terpilih, Prabowo Subianto, untuk mengambil langkah tegas dalam mengatasi permasalahan tersebut.
Potensi Konflik di IKN dan Keterlibatan Masyarakat Lokal
Mahfud MD mengawali diskusi dengan mengutip pandangan Profesor Kuncoro dari Universitas Gadjah Mada (UGM) mengenai pembangunan IKN yang dinilai menyimpan “bom waktu”. Menurut penelitian yang dipimpin oleh Gaffar Karim, terjadi migrasi besar-besaran ke IKN tanpa melibatkan masyarakat lokal secara signifikan. Hal ini berpotensi menimbulkan konflik antara penduduk asli dan pendatang dalam 15 tahun ke depan.
“Penduduk asli akan tersingkir, sementara pendatang menguasai wilayah tersebut. Banyak isu penguasaan tanah yang belum selesai, sehingga menimbulkan perlawanan dari masyarakat adat,” ujar Mahfud, merangkum kekhawatiran yang disampaikan oleh para akademisi.
Mahfud menekankan pentingnya pemerintah, khususnya di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto, untuk segera mengantisipasi potensi konflik ini. Ia mengingatkan bahwa masyarakat lokal seharusnya menjadi pihak yang menikmati kekayaan alam di daerah tersebut, bukan malah tersingkir oleh pembangunan yang tidak inklusif.
Penggunaan Hukum sebagai Alat Pembenaran
Salah satu poin kritis yang disampaikan Mahfud adalah kecenderungan penggunaan hukum sebagai alat untuk melegitimasi kepentingan pemerintah. Ia menyoroti pandangan Profesor Kuncoro yang menyatakan bahwa hukum sering digunakan untuk menyandera dan membenarkan tindakan tertentu, alih-alih menegakkan keadilan.
“Jika pemerintah menginginkan sesuatu dan hukumnya tidak ada, maka hukumnya dibuat atau diubah. Orang yang tidak mendukung pun bisa dihadapkan pada kasus hukum,” jelas Mahfud.
Ia mengingatkan bahwa praktik semacam ini sangat berbahaya bagi masa depan penegakan hukum di Indonesia. Jika dibiarkan, akan terjadi “hukum rimba” di mana pemegang kekuasaan dari pusat hingga daerah terus melakukan manipulasi terhadap hukum, yang pada akhirnya merusak tatanan negara.
Pentingnya Penegakan Hukum sebagai Pilar Ketahanan Negara
Mahfud mengutip data bahwa 44% aset ketahanan sebuah negara ditentukan oleh hukum, sementara 33% lainnya oleh sumber daya alam. Sisanya tersebar di berbagai institusi. Oleh karena itu, penegakan hukum menjadi faktor kunci dalam menjaga stabilitas dan kemajuan Indonesia.
“Jika aspek hukum tidak diperhatikan, kita tinggal menunggu kehancuran. Penegakan hukum yang adil dan kuat adalah fondasi utama bagi ketahanan dan kemajuan negara,” tegasnya.
Harapan Terhadap Pemerintahan Prabowo dalam Pemberantasan Korupsi
Dalam diskusi tersebut, Mahfud juga menyoroti pentingnya pemberantasan korupsi dan peran vital KPK. Ia mengutip pandangan Zainal Arifin Mochtar, pakar hukum dari UGM, yang menegaskan bahwa indeks persepsi korupsi Indonesia sangat dipengaruhi oleh kinerja KPK. Ketika KPK kuat, indeks persepsi korupsi naik; sebaliknya, ketika KPK dilemahkan, indeks tersebut turun.
“Jika Pak Prabowo ingin cepat memperbaiki indeks persepsi korupsi, perbaiki dan kuatkan KPK. Ini langkah paling pragmatis dan efektif,” ujar Mahfud.
Ia juga mengingatkan bahwa proses seleksi calon komisioner KPK masih berlangsung, dan Prabowo memiliki kesempatan untuk memastikan terpilihnya pimpinan KPK yang kompeten dan independen. Mahfud menekankan bahwa penguatan KPK akan sangat membantu pemerintahan baru dalam menjalankan agenda pemberantasan korupsi.
Komitmen Prabowo dalam Penegakan Hukum dan Demokrasi
Mahfud mengapresiasi komitmen Prabowo yang selama kampanye menekankan pentingnya pemberantasan korupsi dan penegakan hukum. Ia berharap komitmen tersebut diwujudkan dalam kebijakan konkret, termasuk tidak menggunakan intelijen untuk mengawasi rakyat yang kritis terhadap pemerintah.
“Intelijen seharusnya bekerja untuk keperluan keamanan negara, bukan untuk menginteli rakyat yang beraspirasi dan berdiskusi,” kata Mahfud, mengingatkan janji Prabowo.
Ia juga menegaskan bahwa kampus dan para akademisi akan terus memberikan pandangan objektif dan kritis demi perbaikan negara. Mahfud berharap pemerintahan baru terbuka terhadap masukan tersebut sebagai bagian dari upaya membangun demokrasi yang sehat.
Tantangan Demokrasi dan Peran Elite
Mahfud mengutip pandangan Dr. Ari Sujito, Wakil Rektor UGM, yang menyoroti bahwa prasyarat-prasyarat untuk membangun demokrasi yang benar masih belum tampak dalam langkah-langkah awal Prabowo. Meski demikian, Mahfud meyakini bahwa Prabowo akan segera menunjukkan arah kebijakannya setelah resmi menjabat.
“Pak Prabowo itu militer, mungkin menunggu setelah kekuasaan ada di tangannya. Saya setuju dengan pandangan bahwa kita tunggu saja tanggal 21 nanti, saat beliau sudah menjadi presiden,” ujarnya.
Mahfud juga menyoroti peran elit dan akademisi dalam menjaga kualitas demokrasi. Ia mengingatkan bahwa suara kritis dari kalangan intelektual penting untuk memastikan pemerintah tetap berjalan pada koridor yang benar.
Mahfud MD menegaskan bahwa perbaikan negara tidak bisa hanya bergantung pada survei atau tingkat kepuasan publik semata. Penegakan hukum, pemberantasan korupsi, dan pembangunan demokrasi yang sehat memerlukan komitmen kuat dari pemimpin tertinggi, dalam hal ini Presiden Prabowo Subianto.
“Semua permasalahan ini pada akhirnya bergantung pada presiden. Kami berharap Pak Prabowo dapat mengambil langkah-langkah strategis untuk memperbaiki penegakan hukum, memberantas korupsi, dan menjaga demokrasi Indonesia tetap sehat,” pungkas Mahfud.
Dengan berbagai tantangan yang dihadapi, harapan besar kini tertuju pada pemerintahan baru. Dukungan dan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat, termasuk kalangan akademisi, diharapkan dapat membantu mewujudkan Indonesia yang lebih baik di masa depan.(c@kra)