MoneyTalk, Jakarta – Pernyataan tertulis Bambang Priyo yang diterima MoneyTalk pada Rabu, 22 Oktober 2024, menggambarkan pesimisme yang mendalam terhadap kepemimpinan Prabowo Subianto yang akan datang. Analogi “lepas dari mulut buaya, masuk ke mulut harimau” memberi bayangan kelam bahwa perubahan di pucuk kepemimpinan Indonesia, dari Presiden Joko Widodo ke Prabowo, mungkin tidak akan berarti. Harapan publik terhadap Prabowo seakan-akan dinilai tidak realistis. Penilaian itu mengarah pada tudingan bahwa Prabowo hanyalah penerus dari pemerintahan sebelumnya.
Bambang Priyo dalam tulisannya mengingatkan bahwa Prabowo yang dulu sangat berbeda dengan Prabowo yang sekarang. Prabowo yang dahulu didukung oleh tokoh masyarakat, cendekiawan, mahasiswa, ulama, dan santri. Kini telah berubah setelah menduduki jabatan di lingkaran kekuasaan sebagai Menteri Pertahanan. Dukungan luas dari berbagai kalangan yang pernah menguatkan posisi politiknya dulu, kini tampaknya memudar. Prabowo dalam pandangan Bambang, bukan lagi sosok yang dilihat sebagai pemimpin independen yang berani menantang status quo.
Setelah masuk ke lingkaran kekuasaan, Prabowo dinilai lebih lemah, dan kemerdekaan politiknya dipertanyakan. Ia dilihat sebagai bagian dari keberlanjutan kekuasaan Joko Widodo, dengan menambah Gibran, anak Jokowi, sebagai wakilnya. Ini seakan memperkuat argumen bahwa Prabowo tidak lepas dari bayang-bayang Jokowi. Lebih jauh lagi, ia kini tunduk pada kepentingan-kepentingan oligarki dan cukong.
Bambang Priyo juga mengangkat isu bahwa kekuatan di balik kemenangan Prabowo bukanlah dukungan rakyat, tetapi mafia dan cukong oligarki sama yang sebelumnya mendukung Jokowi. Para elite ekonomi inilah yang selama dua periode pemerintahan Jokowi dianggap mengendalikan kebijakan-kebijakan besar, memastikan bahwa kepentingan mereka terjaga dengan baik. Jika Jokowi disebut sebagai “presiden boneka”, maka Prabowo dianggap akan menjadi penerus dari model pemerintahan yang sama—terikat oleh hutang budi kepada oligarki yang kuat, termasuk pengaruh dari China.
Dalam pernyataan itu, Bambang bahkan menuduh bahwa Prabowo dan keluarganya akan berada di bawah perlindungan ekstra ketat dari kekuatan oligarki yang telah memenangkan dirinya. Hal ini menambah beban skeptisisme bahwa Prabowo seperti Jokowi sebelumnya. Ia tidak mungkin dapat bertindak independen atau mengambil keputusan yang bertentangan dengan kepentingan oligarki tersebut.
Pilihan para menteri yang diangkat oleh Prabowo juga menjadi poin kritik utama. Bambang menyebutkan, banyak menteri yang dipilih berasal dari orang-orang yang sebelumnya bekerja di bawah Jokowi, serta power sharing yang terjadi di antara partai-partai pendukung Prabowo. Ini menimbulkan pertanyaan serius tentang independensi Prabowo dalam memilih para pembantu utamanya.
Kritik ini menyiratkan bahwa Prabowo bukanlah pemimpin yang bebas menentukan arah kebijakan pemerintahan atau memilih figur-figur yang tepat untuk mengimplementasikannya. Sebaliknya, ia terlihat terjebak dalam kompromi politik yang memaksa dirinya untuk menuruti kepentingan-kepentingan tertentu, baik dari oligarki, partai politik, maupun lingkaran kekuasaan lama.
Pertanyaan mendasar yang dilontarkan Bambang Priyo adalah, apa yang bisa diharapkan dari Prabowo? Bagi mereka yang berharap akan adanya perubahan signifikan, pertanyaan ini menimbulkan keraguan. Jika Prabowo hanya melanjutkan pola pemerintahan sebelumnya di bawah bayang-bayang oligarki dan elite ekonomi, maka harapan masyarakat akan perubahan nyata dalam kebijakan sosial, ekonomi, atau HAM mungkin akan sulit terwujud.
Bambang juga menyoroti bagaimana sebagian besar rakyat Indonesia masih belum menyadari dinamika di balik layar kekuasaan ini. Rakyat mungkin melihat Prabowo sebagai simbol kekuatan baru, tetapi tidak memahami keterbatasan yang ia hadapi dalam menjalankan kekuasaan, tuntutan, dan ekspektasi terhadap Prabowo.(c@kra)