Prabowo Dua Pekan ke Luar Negeri, Kebayang Gibran Jadi Presiden?

  • Bagikan
Prabowo Dua Pekan ke Luar Negeri, Kebayang Gibran Jadi Presiden?
Prabowo Dua Pekan ke Luar Negeri, Kebayang Gibran Jadi Presiden?

MoneyTalk, Jakarta – Dalam kanal YouTube Forum News Network (FNN) pada tanggal 5 November 2024, Edy Mulyady memancing diskusi panas. Ia membahas absennya Presiden Prabowo Subianto selama dua pekan untuk kunjungan kenegaraan ke beberapa negara, termasuk Cina, Amerika Serikat, dan Inggris. Edy menyampaikan keresahan mendalam tentang konsekuensi kepemimpinan sementara yang diemban oleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Kekhawatiran ini semakin menjadi-jadi, terutama karena Gibran dianggap kurang memiliki pengalaman dan kapasitas untuk menangani isu-isu strategis negara selama Prabowo pergi.

Gibran, putra Presiden sebelumnya, Jokowi, menjadi sorotan publik sejak ditunjuk sebagai wakil presiden oleh Prabowo dalam pemilihan 2024. Meski memiliki pengaruh dan pengalaman sebagai Walikota Solo, peran seorang wakil presiden – apalagi dengan tanggung jawab penuh menggantikan presiden selama dua pekan – jelas merupakan tugas yang jauh lebih kompleks. Seperti yang ditekankan oleh Edy Mulyady, kemampuan Gibran untuk menangani keputusan strategis negara dalam berbagai bidang, mulai dari ekonomi hingga pertahanan, dipertanyakan.

Sebagai wakil presiden Gibran memang telah memperlihatkan semangat dalam menghadapi berbagai isu, tetapi tanggung jawab sebagai pemimpin sementara dalam forum kabinet dan pengambilan keputusan kritis adalah hal berbeda. Menurut Edy, kemungkinan besar banyak keputusan strategis harus dikoordinasikan dari jarak jauh, dengan Prabowo tetap memberi arahan. Ini menciptakan situasi unik di mana Gibran bisa jadi “digerakkan dari Solo” – mengingat peran sentral Jokowi dalam membentuk Gibran sebagai figur publik.

Edy Mulyady menyoroti kemungkinan munculnya berbagai skenario politik atau “konspirasi” selama dua pekan tersebut, mengingat konstelasi politik di Indonesia yang dinamis. Terdapat spekulasi bahwa potensi konflik kepentingan dari berbagai pihak bisa menjadi ancaman bagi stabilitas pemerintahan. Dalam pandangan Edy, absennya Prabowo dalam jangka waktu lama bisa saja membuka celah bagi agenda politik tertentu, terutama bagi mereka yang ingin mengacaukan atau bahkan melemahkan kekuasaan Prabowo-Gibran.

Edy juga menyebut, dalam iklim politik Indonesia, segala hal bisa saja terjadi, termasuk kecelakaan atau insiden yang mencurigakan. Ini tentu mengindikasikan kecurigaan terhadap potensi risiko yang mungkin digunakan untuk menggoyang posisi Prabowo atau bahkan menyeret Gibran ke dalam dinamika politik yang lebih rumit.

Sejumlah kritik terkait pengalaman dan kemampuan Gibran sebagai pemimpin tidak luput dari perhatian Edy. Ia mengacu pada berbagai pandangan ahli, termasuk Dr. Tifa, seorang pakar neurosains, yang pernah mengkritik perilaku dan potensi kejiwaan Gibran dalam beberapa kesempatan. Meskipun pandangan ini tidak memiliki dasar klinis yang solid dalam penilaian publik, persepsi ini menunjukkan keraguan besar mengenai Gibran sebagai sosok yang mampu mengendalikan situasi krisis atau membuat keputusan besar tanpa pengawasan.

Menurut Edy, sikap-sikap tertentu yang dipandangnya “kekanak-kanakan” pada Gibran dikhawatirkan dapat menimbulkan ketidakpercayaan di kalangan pejabat senior dan birokrasi. Tantangan besar bagi Gibran adalah apakah ia dapat menunjukkan kendali atas berbagai institusi dan memperoleh kepercayaan penuh dari jajaran pemerintahan selama masa absensi Prabowo.

Dalam pandangan Edy, ada kekhawatiran yang mendalam bahwa absennya Prabowo dapat membuka peluang bagi pihak-pihak yang ingin melemahkan stabilitas pemerintahan melalui aksi-aksi politik yang tidak terduga. Mengingat besarnya pengaruh Jokowi, yang masih dianggap sebagai tokoh sentral di belakang Gibran, ada kekhawatiran bahwa intervensi atau instruksi eksternal bisa memengaruhi kebijakan-kebijakan sementara yang diambil oleh Gibran.

Spekulasi ini sejalan dengan pandangan bahwa Gibran mungkin menerima “arahan” dari pihak-pihak tertentu, terutama jika ia menghadapi situasi yang mengharuskannya membuat keputusan yang dapat berdampak luas. Dengan kata lain, meskipun Prabowo telah resmi memegang kendali sebagai presiden, beberapa pengamat menilai bahwa kekuasaan de facto masih berada di tangan Jokowi melalui sosok Gibran.

Absennya Prabowo selama dua pekan ke depan menempatkan Gibran dalam posisi ujian nyata. Tanggung jawab yang diembannya adalah tantangan besar bagi sosok muda yang baru mulai beradaptasi dengan dinamika politik di level tertinggi. Edy Mulyady menutup pandangannya dengan seruan kepada masyarakat untuk tetap waspada dan berdoa agar Indonesia tetap terjaga dari ancaman yang tidak diinginkan.

Dalam spektrum politik yang selalu berubah, langkah-langkah Prabowo untuk menjaga stabilitas, serta dukungan penuh dari kabinet dan partai-partai pendukung, akan sangat menentukan apakah skenario kekhawatiran yang dipaparkan Edy Mulyady hanya akan menjadi spekulasi atau malah berubah menjadi kenyataan.(c@kra)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *