Miris…!!! Pertarungan Penegakan Hukum versus Dinasty Jokowi
MoneyTalk, Jakarta – Ribuan warga dari berbagai latar belakang, termasuk mahasiswa, aktivis, alumni perguruan tinggi, guru besar, akademisi, dan masyarakat umum, berkumpul di berbagai lokasi di seluruh Indonesia, seperti Gedung DPR RI, Mahkamah Konstitusi (MK), Titik Nol Yogyakarta, Semarang, Padang, Surabaya, Makassar, dan kota-kota besar lainnya. Mereka berkumpul untuk menyuarakan keprihatinan dan perlawanan terhadap arah politik yang dianggap mengancam prinsip-prinsip dasar negara.
Dalam tulisan ini, pakar kebijakan UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, mencermati aksi demonstrasi serentak yang terjadi sebagai respons terhadap pengesahan usulan hasil revisi UU Pilkada oleh Baleg DPR satu hari sebelumnya. Achmad menilai bahwa demonstrasi ini bukan sekadar aksi protes biasa; melainkan membawa tiga makna mendalam yang mencerminkan perjuangan rakyat dalam mempertahankan demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia. Tiga makna tersebut adalah: *Rule of Law versus Dinasti Jokowi, Kritik terhadap Elite Politik dan Partai-Partai, serta Peringatan terhadap Penyalahgunaan Kekuasaan.*
Dalam tulisannya yang berjudul *”Rule of Law Versus Dinasti Jokowi,”* Achmad menyoroti adanya ketegangan antara penegakan hukum dengan upaya Jokowi dalam membangun dinasti politiknya. Menurut Achmad, demonstrasi ini dengan jelas menyoroti pertarungan antara prinsip *Rule of Law* (supremasi hukum) dan upaya mempertahankan atau memperluas kekuasaan oleh Dinasti Jokowi.
Supremasi hukum adalah landasan utama bagi setiap negara demokrasi yang sehat. Hukum harus berlaku bagi semua orang tanpa kecuali, dan ditegakkan oleh lembaga-lembaga independen yang bebas dari intervensi politik.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kekhawatiran telah muncul terkait konsolidasi kekuasaan yang dilakukan oleh keluarga Presiden Joko Widodo melalui cara-cara yang dianggap melanggar prinsip-prinsip hukum dan demokrasi. Ini terlihat dari berbagai upaya legislasi yang dianggap menguntungkan pihak tertentu, termasuk revisi UU Pilkada yang menimbulkan polemik besar di masyarakat.
Dalam konteks ini, Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi benteng terakhir yang melindungi prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum. Demonstrasi hari ini adalah bentuk dukungan rakyat terhadap MK, yang dianggap berada di garis depan dalam melawan upaya-upaya yang mencoba melemahkan hukum dan mengabaikan hak-hak rakyat dalam proses politik.
Ini adalah perlawanan simbolis terhadap apa yang dipandang sebagai ancaman dari dinasti politik yang berusaha memperkuat cengkeramannya di ranah kekuasaan.
Makna kedua dari demonstrasi ini adalah kritik keras terhadap elite politik dan partai-partai yang dianggap telah merusak demokrasi dengan mengubah politik menjadi arena perdagangan kekuasaan.
Salah satu orasi di depan MK menyatakan bahwa politik bukan lagi tentang perjuangan untuk kesejahteraan rakyat, melainkan telah menjadi medan transaksi kekuasaan di mana integritas dan kejujuran sering kali diabaikan.
Partai-partai politik, baik besar maupun kecil, dikritik karena telah menjadi “bunglon” yang berubah-ubah demi keuntungan pribadi atau kelompok. Demonstrasi ini mengungkapkan kemarahan rakyat terhadap praktik jual beli suara, dukungan, dan bahkan integritas, yang telah merusak kepercayaan publik terhadap sistem politik. Ini adalah pengkhianatan terhadap cita-cita demokrasi yang seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan segelintir elite politik.
Demonstrasi ini menegaskan bahwa rakyat Indonesia tidak ingin politik hanya menjadi permainan para juragan partai yang memperdagangkan suara rakyat untuk kekuasaan. Mereka menginginkan politik yang bersih, jujur, dan berpihak pada kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Makna ketiga dari demonstrasi ini adalah peringatan tegas terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh elite politik. Achmad mengingatkan kita pada pandangan para pendiri bangsa, seperti Bung Karno dan Bung Hatta, yang menekankan bahwa kekuasaan, termasuk kekuasaan seorang presiden, harus ada batasnya.
Demonstrasi ini mengingatkan bahwa kejujuran adalah nilai yang sangat penting dalam kehidupan politik, dan ketika elite politik kehilangan kejujuran, sangat sulit untuk memperbaikinya.
Dalam beberapa tahun terakhir, kekhawatiran semakin besar bahwa kekuasaan di Indonesia telah semakin terpusat dan digunakan untuk kepentingan yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan sosial.
Demonstrasi ini adalah bentuk perlawanan rakyat terhadap kekuasaan yang dianggap telah disalahgunakan, serta seruan agar kekuasaan dikembalikan ke tangan rakyat.
Para demonstran tidak hanya menuntut agar MK tetap teguh dalam menjaga supremasi hukum, tetapi juga agar seluruh elemen pemerintah dan partai politik kembali ke jalan yang benar — jalan yang didasarkan pada kejujuran, integritas, dan pengabdian kepada kepentingan rakyat banyak.
Demonstrasi pada 22 Agustus 2024 bukan hanya tentang revisi UU Pilkada atau keputusan Mahkamah Konstitusi. Ini adalah ekspresi mendalam dari rakyat Indonesia yang merasa bahwa demokrasi sedang terancam oleh kekuatan politik yang ingin menguasai segalanya.
Tiga makna utama dari demonstrasi ini — *Rule of Law versus Dinasti Jokowi, Kritik terhadap Elite Politik dan Partai-Partai, serta Peringatan terhadap Penyalahgunaan Kekuasaan* — menggambarkan keinginan kuat rakyat untuk mempertahankan demokrasi dan memastikan bahwa hukum tetap menjadi landasan yang kuat bagi kehidupan politik di Indonesia.
“Semoga pesan dari demonstrasi ini didengar oleh elit politik yang berada di puncak kekuasaan, dan semoga demokrasi Indonesia tidak lagi ditipu atau dilanggar oleh kepentingan segelintir orang. Merdeka! Salam Bela Negara!”, tutup Acmad.(c@kra)