Katanya Darurat Demokrasi
MoneyTalk,Jakarta – 1000 aktivis kampus di UGM yang terdiri dari guru besar dan tenaga pendidik mengeluarkan pernyataan sikap darurat demokrasi.
Mereka seperti baru bangun dari tidur setelah 22 tahun reformasi. Padahal kemufakatan jahat sudah jalan dengan mengamandemen UU dan Tap MPR tentang Referendum sehingga rakyat tidak diajak bicara dengan mengganti UUD 1945 dengan UUD 2002.
Bukan nya ini pembunuhan demokrasi? Jika demokrasi dipahami sebagai pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.
Padahal kalau kita ngomong rakyat itu bukan individu tetapi kolektif,kumpulan dari orang- perorang. Oleh sebab itu pendiri negeri ini menerjemahkan rakyat itu kolektivisme kekeluargaan .
Negara ini didirikan dan dibangun dengan lima prinsip berbangsa dan bernegara yang disebut Pancasila. Namun amandemen UUD 1945 telah memporak porandakan prinsip-prinsip yang sudah menjadi konsensus pendiri negeri ini.
Akibat dari amandemen UUD 1945 kita
kehilangan jati diri sebagai bangsa ,kita kehilangan rasa nasionalisme ke Indonesiaan .Kehidupan berbangsa dan bernegara telah kehilangan roh kita tidak lagi mempunyai prinsip tersendiri justru kita menjadi bangsa yang tergantung pada negara Asing negara Imperalisme
Akibat amandemen yang menurut penelitian Prof Kaelan dari UGM Juga telah diamandemen sebanyak 97% itu sama arti nya menganti UUD 1945 dengan UUD 2002.
Akibat nya Negara Yang di Proklamasi kan 17 Agustus 1945 telah bubar dan negara tidak lagi berdasarkan Pancasila .
Apakah para Guru Besar dan akademika itu mengerti apa yang telah disampaikan Prof Kaelan sehingga demokrasi dianggap darurat bukan nya demokrasi yang kita jalankan hari ini demokrasi liberal tanpa nilai dan menjiplak dari asing ?
Padahal dalam sejarah nya UGM adalah pusat kajian Pancasila dimana Profesor Noto Negoro sebagai Promotor pemberian gelar Doktor Honoriscausa pada Presiden Soekarno.
Tidak berhenti disitu juga tempat lahir nya ekonomi Pancasila dengan tokoh nya Prof Mobyarto. Dan sebenarnya Ekonomi Pancasila bersumber dari ekonomi kerakyatan gagasan Bung Hatta.
Entah apa yang merasuki pikiran Guru Besar dan para aktivis kampus UGM sehingga menjadi demokrasi Liberal sebagai panduan cara berfikir nya .
Tentu saja ini bukan hanya di UGM sudah merata di semua kampus besar di negeri ini 22 tahun reformasi ternyata mampu membumi hanguskan nilai -nilai jati diri bangsa nya yaitu Pancasila.
Demokrasi adalah pertarungan banyak banyakan suara. Siapa yang kalah atau menang, yang penting kuat kuatan dan banyak banyak uang. Dan curang-curangan dipandang sebagai demokrasi yang mereka percayai lebih demokrasi
walau cara demokrasi seperti ini kedaulatan rakyat hanya dijalankan lima menit di bilik suara dan setelah itu terserah yang menang kalau tidak setuju ya protes demo berjilid -jilid menjadi oposisi tetapi mereka tidak konsekwen dengan demokrasi itu sendiri sebab ingin nya menggulingkan pemerintahan yang mereka pilih .
Bandingkan dengan sistem MPR memang suara diwakili contoh kalau dokter ya diwakili IDI kalau Insinyur ya diwakili PII, kalau Guru Besar ya diwakili PGI ,Dan banyak lagi ada NU ,Muhammadyah,Wali Gereja ,Walubi, Persada Hindu ,Tani ,Nelayan, Buruh semua elemen duduk di MPR disamping mewakili Suara juga mewakili pikiran pikiran yang dituangkan didalam GBHN.
Jadi tidak mungkin Presiden membuat rencana sendiri seperti sekarang ini diluar GBHN ,Dan MPR punya hak Veto atas nama kedaulatan rakyat jika Presiden menyeleweng dari GBHN Ya bisa diturunkan. Jadi sistem MPR itulah sistem yang menjadikan kedaulatan rakyat tertinggi .
Sayang sekali para intelektual kampus sudah tercuci otak nya dengan demokrasi liberal,tetapi juga masih banyak yang berpikiran Nasionalis ,bukan Partai politik sebab partai politik sudah tidak ada yang punya paham nasionalis kebangsaan yang ada ideoligi nya adalah Keuangan ,Semua serba uang termasuk Megawati ,harus nya segerah sadar sebab tanpa tanda tangan Megawati UUD 2002 dan Jokowi yang berkuasa hari ini tidak akan terjadi .
Dan kerusakan ini hanya bisa diperbaiki dengan Kembali ke UUD 1945 dan Panca Sila.
Penulis : Prihandoyo Kuswanto,Ketua Pusat Study Kajian Rumah Pancasila.