Mengukur Nyali Jokowi: Beranikah Membuat Dekrit Pembubaran Parlemen jika DPR Melanggar Konstitusi?
MoneyTalk, Jakarta – Pembahasan revisi UU Pilkada di Panja Baleg DPR RI berlangsung sangat cepat. Meskipun perubahan keempat undang-undang ini telah dimulai sejak tahun lalu dan beberapa kali mengalami penundaan, Baleg tiba-tiba mempercepat prosesnya setelah terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi Pasal 40 UU Pilkada yang mengatur ambang batas pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah, serta Pasal 7 ayat 2 huruf e tentang batas usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur.
Dalam putusannya, MK menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah. Sebelumnya, ambang batas pencalonan mengharuskan dukungan minimal 20 persen partai politik yang memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Setelah putusan MK, ambang batas ini diubah menjadi dukungan partai politik dengan perolehan suara antara 6,5 hingga 10 persen dari total suara sah, disesuaikan dengan jumlah penduduk di provinsi, kabupaten, atau kota. MK juga memutuskan bahwa syarat usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur adalah 30 tahun pada saat pendaftaran pasangan calon.
Namun, Panja Baleg menentang putusan MK tersebut. Dalam revisi Pasal 7 ayat 2 huruf e UU Pilkada, Panja Baleg merumuskan batas usia calon gubernur dan wakil gubernur minimal 30 tahun terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih. Selain itu, dalam Pasal 40 ayat 1 dan ayat 3 yang telah dibatalkan oleh MK, Panja Baleg tetap memberlakukan aturan tersebut. Panja Baleg memaksakan bahwa ambang batas pencalonan sebesar 6,5 hingga 10 persen suara sah hanya berlaku bagi partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD. Sedangkan ambang batas pencalonan bagi partai yang memiliki kursi di DPRD tetap sebesar 20 persen dari jumlah kursi di Dewan atau 25 persen dari perolehan suara sah.
Tindakan Panja Baleg ini dianggap sembrono dan menentang Putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Jika usulan Baleg ini disahkan dalam rapat paripurna DPR, maka lembaga legislatif dapat terjerumus ke dalam jurang pembangkangan terhadap konstitusi dan terindikasi melanggar konstitusi.
Implikasi Pembangkangan Konstitusi
Jika DPR mengesahkan RUU Pilkada hasil usulan Panja Baleg yang bertentangan dengan putusan MK, maka hal ini akan menciptakan preseden buruk bagi demokrasi dan ketatanegaraan Indonesia. Pelanggaran konstitusi oleh lembaga legislatif merupakan masalah serius karena menyentuh wilayah vital dalam berbangsa dan bernegara. Kejahatan konstitusi adalah pelanggaran yang sangat serius dan bisa berujung pada pembubaran parlemen.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki peran krusial dalam sistem pemerintahan Indonesia, di mana tugas utamanya adalah menyusun undang-undang, mengawasi jalannya pemerintahan, dan menyuarakan aspirasi rakyat. Namun, jika DPR mengambil kebijakan yang bertentangan dengan kehendak rakyat atau tidak memperhatikan kepentingan umum, hal ini dapat dianggap melanggar prinsip dasar konstitusi.
Proses penyusunan undang-undang di DPR harus sesuai dengan prosedur yang diatur dalam UUD 1945, mencakup perencanaan, pembahasan, pengesahan, hingga pengundangan. Jika dalam proses tersebut ditemukan penyimpangan, seperti pembahasan yang dilakukan secara tertutup atau tanpa partisipasi dari pihak-pihak terkait, hal ini bisa menjadi dasar untuk menilai bahwa DPR telah melanggar konstitusi.
Pelanggaran konstitusi oleh lembaga legislatif secara keseluruhan akan menciptakan preseden buruk bagi demokrasi Indonesia. Jika hal ini terjadi, maka muncul pertanyaan besar: beranikah Presiden Jokowi mengeluarkan dekrit presiden untuk membubarkan DPR?
Dekrit Presiden: Solusi atau Krisis Baru?
Pembubaran DPR RI oleh dekrit presiden merupakan langkah ekstrem yang menandai krisis politik serius. Langkah ini biasanya diambil dalam situasi darurat yang memerlukan perubahan drastis dalam tatanan pemerintahan. Namun, tindakan ini harus memenuhi syarat-syarat yang ketat dan berlandaskan hukum serta prinsip demokrasi.
Dalam konteks Indonesia, pembubaran parlemen lebih dikenal dalam sistem pemerintahan parlementer, di mana kepala negara atau kepala pemerintahan memiliki kewenangan untuk membubarkan parlemen dan mengadakan pemilu baru. Namun, dalam situasi di mana DPR dianggap melanggar konstitusi atau mengancam keamanan nasional, presiden mungkin merasa perlu mengambil langkah drastis untuk melindungi negara.
Pembubaran DPR RI melalui dekrit presiden akan memiliki implikasi besar, baik dari segi hukum, politik, maupun sosial. Langkah ini hampir pasti akan memicu krisis konstitusional yang dapat mengarah pada ketidakstabilan politik yang lebih besar. Salah satu hasil dari pembubaran DPR mungkin adalah pemilu baru untuk memilih parlemen yang baru. Namun, ini juga dapat memerlukan perubahan konstitusi atau undang-undang dasar untuk mengatur kembali hubungan antara eksekutif dan legislatif.
Dalam sejarah politik Indonesia, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945. Dekrit ini dilakukan dalam situasi krisis politik dan konstitusional yang dianggap mengancam kelangsungan negara. Jika Jokowi mengikuti jejak tersebut, tindakan ini harus diawasi ketat oleh lembaga-lembaga negara lainnya, seperti Mahkamah Konstitusi dan masyarakat sipil, untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Keputusan untuk membubarkan DPR RI melalui dekrit presiden adalah langkah yang sangat drastis dan hanya boleh diambil dalam kondisi yang benar-benar darurat. Meskipun mungkin ada situasi di mana pembubaran DPR diperlukan untuk menyelamatkan negara, tindakan ini harus dilakukan dengan hati-hati dan berdasarkan prinsip-prinsip hukum, demokrasi, dan akuntabilitas. Jika tidak, risiko terjadinya krisis politik, hukum, dan sosial yang lebih besar sangat mungkin terjadi, yang pada akhirnya dapat merusak tatanan negara dan kepercayaan publik terhadap pemerintahan.
Apakah Presiden Jokowi berani mengambil langkah ini jika DPR terbukti melanggar konstitusi? Ataukah ia akan memilih untuk mencari solusi lain yang lebih moderat dalam menghadapi situasi yang krisis ini? Hanya waktu yang akan menjawab.
Penulis : Mus Gaber,Padepokan Hukum Indonesia